Sabtu, 05 Januari 2013

Talqin Mayyit

a. Pengertian Arti talqin secara bahasa adalah Tafhim (memberikan pemahaman), memberi peringatan dengan mulut, mengajarkan sesuatu. Secara istilah talqin adalah mengajarkan kalimat tauhid terhadap orang – orang yang baru saja dikubur serta mengajarinya tentang pertanyaan – pertanyaan kubur. b. Dalil dan Talqin Hukum talqin menurut mayoritas ulama Syafi’iyah adalah sunnah. Di dasarkan pada sabdaNabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Nabi Umamah: عَنْ أَبِي أَمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اِذَا اِذَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ : يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْتَوْى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشَدَنَا يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لَاتَشْعُرُوْنَ فَلْ يَقُل اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَتَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وُاِنَّكَ رَصَيْتَ بِااللهِ رَبًّا وَبِااْلاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِااْلقُرْاَنِ اِمَامًا فَاِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلَ اللهِ فَاِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ اِلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ: بَا فُلَانُ بْنُ حَوَاءَ (رواه الطبرني في المعجم كبير،٧٩٧٩، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه احكام تمني ٩ بدون اي تعليق). “Dari Abi Umamah RA,beliau berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rosulullah SAW memperlakukan orang – orang yang wafat diantara kita. Rosulullah SAW memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika diantara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah diatas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai fulan bin fulanab”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai fulan bin fulanab”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada diatas kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin fulanab”, maka si mayyit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan disini).” (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri diatas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar kealam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad SAW adalah hamba serta Rosul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridho menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad SAW sebagai Nabimu, dan al – Qur’an sebagai imam (penuntun jalan )mu. (Setelah dibacakan talqin ini ) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk ( untuk bertanya) dimuka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki – laki bertanya kepada Rosulullah SAW, “Wahai Rosulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rosulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai fulan bin Hawa.”(HR. al – Thabrani dalam al – Mu’jam al – Kabir :7979, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al – Mawt hal. 9 tanpa ada komentar). Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al – a’mal, hadits ini dapat digunakan. Sebagian ahli hadits mengatakan bahwa Hadits Abi Umamah ini Hasan Lighoirihi sebab sudah diperkuat dengan hadits lain yang senada sebagai syahid. Hadits diatas juga sesuai dengan al – Qur’an surat Adariyat ayat 55: وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرَ تَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ (الذارريات:٥٥) “Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang – orang yang beriman”. Imam Nawawi dalam kitab al – Majmu’li an Nawawy juz 7, halaman 254 dan Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim juz 1, halaman 63, memberikan komentar tentang hadits Abi Umamah yaitu: قُلْتُ: حَدِيْثُ اَبِي أُمَامَةَ رَوَاهُ أَبَو الْقَاسِمِ الطَّبْرَنِي فِي مُعْجَمِهِ بِاسْنَادِ ضَعِيْفٍ وَلَفْظُهُ: عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْاَزْدِى قَالَ: شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهُوَ فِي نَزَعٍ فَقَالَ اِذَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَالْيَقُمْ اَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ : يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ.(الحديث) اِلَى اَنْ قَالَ اِتَّفَقَ عُلَمَاءُ اْلمُحَدِّثِيْنَ وَغَيْرُهُمْ عَلَى اْلمُسَامَحَةِ فِى اَحَادِيْثِ الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ وَقَدِ اعْتَضَدَ بِشَوَاهِدَ مِنَ اْلاَحَادِيْثِ كَحَدِيْثِ وَاسْئَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ وَوَصِيَّةُ عَمْرُو بْنُ اْلعَاصِ وَهُمَا صَحِيْحَانِ سَبَقَ بَيَانُهَا قَرِيْبًا. Hadits Abu Umamah, riwayat abu Qasim at – Thabrani dalam kitab Mu’jam – nya dengan sanad dhaif, teksnya demikian : Dari Said ibnu Abdullah al – Azdi, ia mengatakan : Saya melihat Abu Umamah dalam keadaan naza’(sekarat), kemudian ia berpesan: Jika saya meninggal maka berbuatlah seperti yang teleh diperintahkan Rosulullah SAW. Rosul pernah bersabda : Jika ada yang meninggal diantara kalian, ratakanlah tanah kuburannya, dan hendaknya berdiri salah seorang dari kalian diarah kepalanya, lalu katakan: Hai fulan bin Fulan ……sesungguhnya ia (mayit) mendengar dan dapat menjawab (al – Hadits). Sampai kata – kata : para ulama pakar hadits sepakat dapat menerima hadits – hadits tentang keutamaan amal untuk menambah semangat beribadah. Dan telah dibantu bukti – bukti adanya hadits – hadits lain seperti hadits “Mintalah kalian kepada Allah kemampuan (menjawab pertanyaan Munkar da Nakir) dan “wasiat Amr bin ‘Ash” tentang memberi hiburan ketika ditanya malaikat di mana kedua hadits tersebut sahih seperti yang telah disinggung sebelumnya . Dalam kitab Dalil al Falihin, juz 71, halaman 57 disebutkan : وَفِي مَتْنِ الرَّوْض لِابْنِ اْلمُقْرِى مَا لَفْظَهُ: يُسْتَحَبُّ اَنْ يُلَقِّنَ اْلمَيِّتُ بَعْدَ الدَّفْنِ بِاْلمَأْثُوْرِ. قَالَ شَارِحُهُ شَيْخُ اْلاِسْلَامِ بَعْدَ اَنْ بَيَّنَ ذَلِكَ مَا لَفْظُهُ: قَالَ النَّوَاوِيُّ وَهُوَ ضَعِيْفٌ لَكِنْ اَحَادِيْثَ اْلفَضَائِلِ يَتَسَامَحُ فِيْهَا عِنْدَ اَهْلِ اْلعِلْمِ. وَقَدِ اعْتَضَدَ هَذَا الْحَدِيْثِ شَوَاهِدَ مِنَ اْلاَحَادِيْثَ الصَّحِيْحَةِ كَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَسْأَلُ اللهَ التَّثْبِيْتَ. وَوَصِيُّ عَمْرُو بْنَ اْلعَاصِ السَّابِقِيْنَ. قَالَ بَعْضُهُمْ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ دَلِيْلٌ عَلَيْهِ لِاَنَّ الْحَقِيْقَةَ اْلَمِّيتِ مَنْ مَاتَ. وَاَِمَّا قَبْلَ اْلمَوْتِ وَهُوَ مَا جَرَى عَلَيْهِ كَمَا مَرَّ فَجَازَ. ثُمَّ قَالَ بَعْدَ كَلَامٍ. وَمُعْتَمَدُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ سُنَّةُ النَّلْقِيْنِ بَعْدَ الدَّفْنِ كَمَا نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي اْلمَجْمُوْعِ عَن جَمَاعَاتٍ مِنَ اْلاَصْحَابِ. قَالَ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى السْتِحْبَابِهِ اْلقِاضِى حُسَيْنُ وَمُتَوَالِى وَالشَّيْخُ نَصْرُ الْمُقَدَّسِ وَالرَّافِعِي وَغَيْرُهُمْ. وَنَقَلَ اْلقَاضِى حُسَيْنُ عَنْ اَصْحَابِنَا. مُطْلَقًا. وَقَالَ ابْنُ الصَّلاَحِ هُوَ اَّلَذِي نَخْتَارُهُ وَنَعْمَلُ بِهِ. وَقَالَ السَّخَاوِيْ وَقَدْ وَافَقَنَا الْمَالِكِيَّةِ عَلَى اسْتِحْبَابَِهِ اَيْضًا وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِهِ مِنْهُمْ القَاضِى اَبُوْ بَكْرِ اْلغَزِى. قَالَ وَهُوَ فِعْلُ اَهْلِ اْلمَدِيْنَةِ وَالصَّالِحِيْنَ وَاْلاَخْيَارِ وَجَرَى بِهِ اْلعَمَلُ بِقُرْطُوْبَةِ وَاَمَّااْلحَنِيْفَةَ فَاخْتَلَفَ فِيْهِ مَشَايِخُكُمْ كَمَا فِى اْلمُحِيطِ وَكَذَا احْتَلَفَ فِيْهِ الْحَنَابِلَةُ. Disunahkan mentaqlin mayit setelah dikubur berdasarkan hadis. Syaikhul Islam sebagai persyarahnya menjelaskan: Imam an – Nawawi berkata bahwa hadits tersebut dho’if, ia termasuk hadits Fadhail al-‘Amal yang di kalangan pakar ilmu hadits ditoleransikan bias digunakan. Hadits tersebut diperkuat oleh banyak hadis-hadis sahih yang lain, seperti: asal Allah at-tatsbit (mohonlah kepada Allah agar tetap di dalam keimanan ) dan wasiatnya kepada Amr bin Ash dari kalangan orang pertama yang masuk Islam. Sabda Rosulullah: Laqqinu mautakun la Illallah (Bacakan la ilaha Illallah kepada seorang mati diantara kalian). Menurut pendapat sebagiaan ulama, hadis ini merupakan dalil di bolehkannya talqin bagi seorang yang sudah mati karena hakekat “al – mayyit” sebagaimana tertera dalam hadis itu adalah seorang yang sudah mati. Sedangkan sebelum mati juga boleh dibacakan talqin seperti yang banyak dilakukan para ulama. Menurut madzhab Syai’i, kesunnahan talqin itu setelah dikuburkan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan pula dalam al-Majmu’ berdasarkan pendapat dari banyak ulama. Di antara yang menyatakan kesunnahannya itu adalah al-Qadhi Husain, al-Mutawalli, Syaikh Nashir al- Muqaddasi, Rafi’I, Ibnu Shalah dan Sakhawi. Pendapat kami tentang kesunnahan talqin tersebut sesuai dengan pendapat dari kalangan al-Maliki, seperti yang dinyatakan di antaranya al-Qadhi Abu Bakar Al- Azzi yang menyebutkannya sebagai amalan penduduk Madinah dan orang-oarang saleh serta yang banyak dilakukan oleh umat Islam di Spayol. Sedang di kalangan al-Hanafi, para tokoh mereka saling bersilang pendapat sebagaimana tertera dalam al-Mubith sebagaimana silang pendapat yang terjadi di kalangan ulama Hambali. Dalil lain juga menerangkan dalam kitab Nihayat al-Muhtaj, Juz III,hal. 4: وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ اْلمَيِّتِ اْلمُكَلَّفِ بَعْدَ تَمَامِ دَفْنِهِ لِخَبَرِ اَنَّ اْلعَبْدَ اِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ اَصْحَابٌ اَنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعُ نِعَالِهِمْ. فَاِذَانْصَرَفُوْا اَتَاهُ مَلَكَانِ-الحديث. Disunnahkan mentalqin mayyit yang sudah mukallaf usai dikuburkan berdasarkan hadits: Seorang hamba ketika ia diletakan dikuburnya dan para pengirimnya pulang,ia mendengar suara alas kaki mereka. Kalau para pengantar sudah pulang semua, ia segera di datangi dua malaikat. Dalm kitab al- Hawy li al – Fatawa li al – Hafizh as- suyuthy, Juz II, halaman 176 – 177: juga diterangkan. وَعِبَارَةُ التَّتِمَّةِ اْلاَصْلُ فِى التَّلْقِيْنِ مَا رَوَى اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا دَفَنَ اِبْرَاهِيْمَ قَالَ:قُلْ “الله رَبِّي”- اِلَى اَنْ قَالَ –وَيَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَاهُ مَا رَوَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ لَمَّا دَفَنَ وَلَدَهُ اِبْرَاهِيْمَ وَقَفَ عَلَى قَبْرِهِ فَقَالَ: يَابُنَيَّ، اَلْقَلْبُ يَحْزُنُ وَاْلعَيْنُ تَدْمَعُ وَلَا نَقُوْلُ مَا يَسْحُطُ الرَّبُّ-اِنَّاللهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ-يَابُنَيَّ قُلْ الله رَبِّي وَاْلاِسْلَامُ دِيْنِي وَرَسُوْلُ اللهِ اَبِي فَبَكَتِ الصَّحَابَةُ وَبَكَى عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ بُكَاءً اِرْتَفَعَ لَهُ صَوْتَهُ. Teks lengkap mengenai Talqin ini seperti yang diriwayatkan bahwa Rosulullah saat mengubur anaknya, Ibrahim, mengatakan: Katakanlah: Allah Tuhankn….sampai kata – kata: Hal itu menunjukan atas benarnya apa yang aku ucapkan, apa yang diriwayatakan dari Nabi, sesungguhnya saat dia menguburkan anaknya, Ibrahim, dia berdiri diatas kubur dan bersabda: Hai anakku, hati ini sedih, mata ini mencucurkan air mata, dan aku tidak akan berkata yang menjadikan Allah marah kepadaku. Hai anakku, katakana Allah itu Tuhanku, Islam agamaku, dan Rosulullah itu bapakku ! Para sahabat ikut menangis, bahkan Umar bin Khoththob menangis sampai mengeluarkan suara yang keras. Dalam kitab Hasyiah Umairah bi Asfali Hasyiah Qalyuby Mahally, Juz I, halaman 353: Menegaskan tenteng kesunnahan Hukum mentalqin mayit. يُسَنُّ اَيْضًا اَلتَّلْقِيْنُ-فَيُقَالُ لَهُ يَا عَبْدُ اللهِ ابْنِ اَمَةِ اللهِ اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَاَنَّ النَّارَ حَقٌّ وَاَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ وَاَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَارَيْبَ فِيْهَا وَاَنَّ اللهَ يُبْعَثُ مَنْ فِى اْلقُبُوْرِ وَاِنَّكَ رَضَيْتَ بِااللهِ رَبًّا وَبِالْاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَبِااْلقُرْآنِ اِمَامًا وَبِاالْكَعْبِة قِبْلَةً وَبِااْلمُؤْمِنِيْنَ اِخْوَانًا-لِحَدِيْثٍ وَرَدَ فِيْهِ-فِى الرَّوْضَةِ الْحَدِيْثِ وَاِنْ كَانَ ضَعِيْفًا لَكِنَّهُ اعْتَضَدَ بِشَوَاهِدِهِ. Talqin itu disunnahkan maka dikatakan kepadanya (mayitt): Hai hamba Alla, ingatlah engkau telah meninggal, bersaksilah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, surga adalah haq (benar adanya), neraka adalah haq, dan kebangkitan di Hari Kiamat juga haq. Hari Kiamat pasti akan dating, tidak bias diragukan lagi, Allah akan membangkitkan kembali manusia dari kuburnya, dan hendaknya engkaun rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagain agama, Muhammad sebagi Nabi, al – Qur’an sebagi kitab suci, Ka’bah sebagi kiblat, dan kaum muslimin sebagai saudra. Hal ni berkenaan dengan danya hadits dalam masalah ini, dan dalam kitab ar – Raudhah ditambahkan: Hadits ini, meskipun dhaif, tapi lengkap panguat – penguatnya. Dalam kitab I’anah al – Thalibin karya Sayid Abu Bakar Syatha al – Dimyati, juz ll hal 140 dijelaskan: (قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ) مَعْطُوْفٌ عَلَى اَنْ يُلَقِّنَ اَيْضًا اَيْ وَيُنْذَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ الخ. وَذَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرَتَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ (الذاريات:55) وَاَحْوَجَ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ اِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَاَلِة. “Yang dimaksud dengan membacakan talqin bagi orang yang baligh yaitu, disunnahkan men – talqin – kan orang yang sudah baligh (ukallaf). Hal itu berdasarkan firman Allah SWT: Dan tetaplah memberi perihgatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang – orang mukmin (al – Dzariyat : 55) dan yang paling diperlukan oleh seorang hamba untukl mendapat peringatan pada saat ini (setelah dikubur).” Dalam kitab ‘I’anatul Thalibin juz ll hal 140 disebutkan : (قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَاِلغٍ) اَيْ وَيُنْذَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ الخ وَذَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرَ تَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ. وَاَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ اْلعَبْدُ اِلَى التَّذْكِيْرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ (اعانة الطالبين قبيل باب الزكاة ٢/١٤٠) Dan disunnahkan orang yang sudah baligh……demikian itu sesuai dengan firman Allah Swt :“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang – orang yang beriman”. (al – Dzariyat : 55). Dalam keadaan seperti ini lah seorang hamba sangat membutuhkan terhadap peringatan tersebut. Dalam kitab Nihayatul Muhthaz juz lll hal 4 disebutkan : وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ اْلمَيِّتِ اْلمُكَلَّفِ بَعْدَ تَمَامِ دَفْنِهِ لِخَبَرِ اَنَّ اْلعَبْدَ اِذَا وُضِعَ فِيْ قَْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ اَصْحَابٌ اَنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ. فَاِذَانْصَرَفُوْا اَتَاهُ مَلَكَانِ. الحديث ( نهاية المحتاج ٣/٤). Disunahkan mentalqini mayyit yang sudah mukallaf setelah selesai dikuburkan, berdasarkan hadits: “Sesungguhnya seorang hamba ketika sudah diletakkan dikuburnya dan para pengiringnya berpaling pulang, ia mendengar suara gema alas kaki mereka. Jika mereka sudah pergi semua, kemudian ia didatangi oleh dua malaikat ……Al Hadits”. Dalam kanzu al – ‘Umal karya Syaih Ibnu Hisammudin Al Hindi Al Burhanfuri, jilid 15 hal 737 disebutkan sebagai berikut; عَنْ سَعِيْدِاْلاُمَوِىِّ قَالَ: شَهِدْتُ اَبَا أُمَاَمةَ وَهُوَ فِى النِزَاعِ اِذَا اَنَا مُتُّ فَافْعَلُوْا بِيْ كَمَا اَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمْ عَلَيْهِ التُّرَابُ فَلْيَقُمْ رَجُلٌ مِنْكُمْ عِنْدَ رَأْسِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُ وَلَكِنَّهُ لَايُجِيْبُ ثُمَّ لْيَقُلْ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْتَوِى جَالِسًاثُمَّ لْيَقُلْ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ اَرْشَدَنَا رَحِمَكَ اللهُ ثُمَّ لْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَِنَّكَ رَضَيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ نَِيًّا وَبِالْاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِالْقُرْآنِ اِمَامًا فَاِنَّهُ اِذَا فَعَلَ ذَالِكَ أَخَذٌ مُنْكَرٌ وَنَكِيْرٌ اَحَدُهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ لَهُ اُخْرُجْ بِنَا مِنْ عِنْدِهَذَا مَا نَصْنَعُ بِهِ قَدْ لَقَّنَ حَجَّتَهُ فَيَكُوْنُ اللهُ حَجِيْجَهُ دُوْنَهُمَا. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَاِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمُّهُ؟ قَالَ: اِنْسِبْهُ اِلَى حَوَاءَ. “Diceritakan “dari Said al – Umawi, ia berkata: Saya menyaksikan Abu Umamah sedang naza’ (sakaratul maut). Lalu ia berkata kepadaku : Hai Said ! Jika aku mati, perlakukanlah olehmu kepada diriku sebagaimana yang diperintahkan oleh Rosulullah Saw kepada kita. Rosulullah SAW bersabda kepada kita : Jika diantara kamu meninggal dunia maka timbunlah kuburannya dengan tanah sampai rata. Dan hendaknya salah seorang diantara kamu berdiri disamping arah kepalanya, lalu ia berkata : Hai fulan bin Fulanah, sesungguhnya mayit itu mendengar, akan tetapi tidak dapat menjawab. Kemudian hendaklah ia brkata : Hai Fulan bib Fulanah, maka ia akan duduk tegap. Kamudian hendaklah ia berkata : Hai Fulan bin Fulanah, lalu ia berkata: Semoga Allah Swt . memberikan petunjuk kepda kita dan juga memberikan rahmat kepadamu. Kemudian hendaklah ia berkata: Ingatlah bahwa engkau telah keluar dari alam dunia ini:Dengan bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rosul – Nya, dan bahwasannya engkau rrela Allah sebagai Tuhanmu, Muhammad sebagai Nabimu, Islam sebagai agamamu, dan al – Qur’an sebagai imammu. Sesungguhnya jika seseorang mengerjakan itu maka malaikat munkar dan Nakir akan menyambut salah satunya dengan tangan sahabatnya yang kemudian ia berkata : Keluarlah bersama kami dari tempat ini. Kami tidak akan memperlakukan apa yang telah ia nyatakan. Maka Allah Swt akan memenuhi keperluannya tanpa kedua malaikat itu. Lalu seseorang bertanya kepeda Rosulullah SAW: Wahai Rosulullah, bagai mana jika saya tidak mengetahui ibunya? Rosulullah SAW menjawab : “Hendaklah kamu menasabkannya kepada (ibu) Hawa.” Orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya masih mendengar ucapan salam dan bias menerima doa orang lain. Rosulullah SAW selalu mengucapkan salam kepada ahli kubur pada saat ziaroh kubur atau melintasi kuburan. Demikian juga Rosulullah Saw pada saat putranya Ibrahim wafat mentalqinkannya dengan kalimat tauhid. Logikanya, seandainya talqin itu tidak berguna niscaya Rosulullah SAW tidak akan mengerjakannya. Kesimpulannya hukum mentalqinkan mayit yang sudah mukallaf hukumnya adalah sunnah. Keterangan tentang kesunnahan talqin ini juga dapat dilihat dalam kitab sebagai berikut: a. At – Tukhfah juz ll, hal 19 b. Al – Mughni juz lll, hal 207 c. Al – Majmu Syarah Muhadzab juz 7, hal 303 d. Al – Iqna’juz l, hal 183 e. Tassyikhil Mustafidin 142 f. Busro al Karim juz ll, hal 38 g. Nikhayah al – Zain 162 h. Al – Anwar juz l, hal 124 i. Fathul Barri juz l, hal 449 j. Irsyadus syari juz ll, hal 434 k. Matan al – Raodhoh Kaitannya dengan firman Alla Swt: وَمَا اَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى اْلقُبُوْرِ (فاطر : ٢٢ ) “Dan engkau (wahai Muhammad) sekali – kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22). Firman Allah diatas sering dijadikan untuk menolak hokum sunnah talqin namun dalam Tafsir al – Khazim diterangkan bahwa yang dimaksud denan kata Man Fi al – Qubur (orang yang berada didalam kubur) dalam ayat ini ialah orang –orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama – sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz)dari hati mereka yang mati (tafsir al –Khazim, juz 7, hal 347). Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu dalam kubur bias mendengar suara orang yang membimbimg talqin tersebut dengan kekuasaan Allah Swt. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rosulullah SAW apabila berziarah kekuburan selalu menguicapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rosulullah SAW, tentu Rosulullah SAW melakukan sesuatu yang sia – sia dan itu tidak mumgkin.Wallahu A’lam .

Jumat, 04 Januari 2013

20 Rakaat Sholat Tarawih

1. Pengertian Shalat tarawih adalah shalat sunat dengan niat tertentu yang dikerjakan pada setiap malam Bulan Rahamadhan setelah shalat isya’. Hukum shalat tarawih adalah sunah ‘ainiyah Muakkadah baik bagi laki-laki amaupun perempuan yang mukallaf. Dalam tradisi NU shalat tarawih 20 roka’at ini dikerjakan dengan dua roka’at salam, hal ini berdasarkan hadist Nabi tentang tata cara melaksanakan shalat malam. Nabi SAW bersabda : عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. عَنْ صَلَاةِ الَّليْلِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (رواه البخارى,٩٣٦ ومسلم, ١٢٣٩ والترمذى ١٠٤, والنسائ,١٦٥٩,وابو داود,١١٣,وابن ماجه,١١٦٥) Dari Ibnu Umar ” Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah tentang shalat malam. Mereka Nabi menjawab, “ Shalat malam itu ada dua rakaat-dua rakaat” (HR al-Bukhari : 936, Muslim : 1239, al-Tirmidzi : 401, al-Nasa’I :1650, Abu Dawud :1130 dan Ibnu Majah : 1165). 2. Dalil Tarawih 20 Raka’at Di antara Dalil yang di gunakan Hujjah oleh orang NU dalam menjalankan tarawih 20 Raka’at yaitu : Pertama Hadist Imam Malik dari Sohabat Yasid bin Rumman. عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ رُمَّانَ اَنَّهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِىْ زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِثَلَاثِ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً.( رواه الامام مالك فى الموطأ). “Dari Malik, dari Yazid bin Rumman, ia mengatakan : Orang-orang mengerjakan (salat Tarawih) pada zaman Umar bin Khathbab sebanyak 23 rakaat”. (HR Imam Malik, dalam kitab al-Muwatha, Juz I hlm. 138) Kedua Hadist riwayat al-Baihaqi dari sahabat saib bin Yazid dalam kitab Al-Hawy li Al Fatawa li As Suyuthy, Juz I hlm. 350, juga kitab fath al-wahhab Juz I, hlm. 58. وَمَذْهَبُنَا اَنَّ التَّرَاوِيْحَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً لِمَا رَوَى اْلبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ باِلْاِسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ للهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نَقُوْمُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ _ هَكَذَا ذَكَرَهُ اْلمُصَنِّفِ وَاسْتُدِلَّ بِهِ. Madzbab kita (Syafi’iyah) menyatakan : salat Taawih itu dijalankan 20 rakaat. Ini berdasarkan pada hadist nabi yang diriwayatkan Imam Baihaqi dengan sanad shabih, dari Saib bin Yasid, ia mengatakan : kita mengerjakan salat Tarawih pada masa Umar bin Khathhab dengan 20 akaat ditambah Witir. Ketiga, pendapat Jumhur fiqih yang terdapat dalam kitab fiqih as-Sunah, Juz II. Hlm. 45 وَصَحَّ النَّاسُ كَانُوْا يُصَلُّوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً. وَهُوَ رَأْىُ الْجُمْهُوْرِ الْفُقَهَاءِ. Betul bahwa kaum muslimin mengerjakan salat pada zaman Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan ini pendapat sebagian mayoritas pakar-pakar hokum Islam. Dalil keempat, dalam kitab Taudbib al-Adillah, Juz III, hlm. 171. عَنْ اِبْنِ عَبَسَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِىْ غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ.رواه البيهقى والطبرنى عن عبد بن حمد. Ibnu Abbas mengatakan : Rasul salat di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 rakaat ditambah Witir (HR Baihaqi dan Thabrani, dari Abd bin Humaid) Dalil kelima, dalam kitab Hamisy Muhibbah, Jus II, hlm. 446-467. وَفِىْ تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثَ الرَّافِعِيْ لِلْاِمَامِ اْلحَاِفظْ اِبْنِ حَجَرَ مَا نَصَّهُ حَدِيْثُ اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّ بِالنَّاسِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لَيْلَتَيْنِ فَلَمَّا كَانَ فِىْ لَيْلَةِ الثَّالِثَةِ اجْتَمَعَ النَّاسُ فَلَمَّا يَخْرُجَ اِلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ مِنَ الْغَدِّ خَشِيْتُ اَنْ تَفْرُضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُتِيْقُوْنَهَا. متفق على صحته من حديث عائسة رضي الله عنها دون عدد الركعات. Ada komentarnya ImamRafi’I untuk hadist riwayat Imam Ibnu hajar tentang teks hadist Rasul salat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar. Kemudian, paginya dia bersabda, Aku takut Tarawih diwajibkan atas kalian, dan kalian tidak mampu melaksanakannya. Hadist ini disepakati kesabibannya, tanpa mengesampingkan hadist yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebut rakaatnya. Sedangkan salat Tarawih berjama’ah hukumnya sunat ainiyah, memurut ulama khanafiyah hukumnya sunat kifayah. Dalil ini bedasarkan hadist Abu Durahman bin Abdul Qari dalam kitab shaih al-Buhkari. عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ اَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةٌ فِىْ رَمَضَانَ اِلَى اْلمَسْجِدِ فَاِذَا النَّاسُ اَوْزَاعٌ مُتَفَرَّقُوْنَ يُصَلِّ الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّ الرَّجُلُ فَيُصَلِّ بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ اِنِّي اَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ اَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيَّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خّرَجَتْ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرَ نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ. (رواه البخاري, ١٨١٧) “Diriwayatkan dari Abdurrohman bin Abd al-Qori, beliau berkata, “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin al-Khabtbab ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam mesjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan berjama’ah ”. Lalu Sayyidina Umar berkata, “Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami dating lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan satu imam. Umar berkata, “ Sebaik-baiknya bid’ab adalah ini. (Shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR al-Bukhari :1871). Dalam tradisi NU, di dalam melaksanakan shalat tarawih berjama’ah biasanya bilal membacaصاوا سنة ا لر ا و ى yang dibaca pada waktu akan melakukan jama’ah shalat tarawih. Hal ini berdasarkan dalil dalam kitab Al-Qolyubi Juz, I hlm. 125. (وَيُقَالُ فِى اْلعِيْدِ وَنَحْوِهِ) مِمَّا تُشْرَعُ فِيْهِ الْجَمَاعَةُ كَاالْكُسُوْفِ وَالْاِسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيْحِ (اَلصَّلَاةُ جَامِعَةً) لِوُرُوْدِ فِيْ حَدِيْثِ الشَّيْخَيْنِ فِى اْلكُسُوْفِ وَيُقَاسُ بِهِ وَنَحْوِهِ (اَلصَّلَاةُ جَامِعَةً) وَمِثْلُهُ “هَلُمُّوْا اِلَى الصَّلَاةِ اَوِالْفَلَاحِ اَوِالصَّلَاةِ يَرْحَمُكُمُ اللهُ وَنَحْوُ ذَلِكَ.ھ “Di dalam shalat ied dan shalat-shalat yang disyariatkan dilaksanakan secara berjama’ah (seperti shalat khusuf, shalat istisqo dan shalat tarawih )di sunahkan membaca الصلاة جامعة dan bacaan semisalnya seperti هلموا الى الصلاة atau هلموا الى الفلاح يرحمكم الله dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist Bukhari Muslim tentang shalat kusuf, adapun yang lainnya di kias-kiaskan”. Kaitannya dengan hadist Riwayat Al Bukhari yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلَافِى غَيْرِهِ عَلَى اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً (رواه البخارى,١٠٧٩) “Dari Sayyidatuna Aisyah-Radbiyallohu’anba, ia berkata ,”Rosululloh …… tidak pernah menambah shalat malam pada bulan Ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rekaat”.(HR. al-Bukhari,1079) Hadist diatas sering dijadikan dalil shalat tarawih 11 rakaat. Namun menurut keterangan dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj, Juz 11, hal 229 yang mengutip pendapat Ibnu Hajar A-Haitami(seorang Ulama ahlussunah) meengatakan bahwa hadist tersebut bukanlah dalil salah tarawih 11 rakaat melainkan dalil shalat witir. Sebab berdasarkan kebanyakan riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat witir dan bilangan maksimalnya adalah sebelas rakaat. Dalam Kitab Kasyfu At-tabarih dikatakan وَلمَاَّ كَانَتْ تِلْكَ اْلَاحَادِيْثُ مُتَعَارِضَةٌ وَمُحْتَلِمَةٌ لِلتَّأْوِيْلِ لَمْ تَقُمْ بِهَا الْحُجَّةُ فِى اِثْبَاتِ رَكَعَاتِ التَّرَاوِيْحِ لِتَسَاقُطِهَا فَعَدَّ لْنَا عَنِ اسْتِدْلَالِ بِهَا اِلَى الدَّلِيْلِ اْلقَاطِعِ وَهُوَ اْلاِجْمَاعُ وَهُوَ اِجْمَاعُ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى زَمَنِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى فِعْلِهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةً رَوَاهُ الْبَيْهَقِى بِااسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرُ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً اھ كشف التاريح ص ١٣ “Karena dalil-dalil tentang bilangan shalat rakaat shalat tarawih saling berlawanan dan memungkinkan adanya ta’wil maka tidak memungkinkan untuk dijadikan hijjah dalam menetapkan rakaat shalatbtarawih karena dalil-dalil tersebut saling menjatuhkan maka dari itu kami tidak mengambil dalildarihadist-hadist tersebut melainkan menggunakan dalil yang Qot’I yaitu ijma’ kebanyakan orang islam ( dilaman Sayyidina Umar RA ) yang melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat berdasarkan hadist riwayat Baihaqi dari sahabat As-saib bin Yazid RA dengan isnad yang shahih, saib mengatakan : Mereka (orang-orang muslim) mengerjakan shalat tarawih 20 rakaat pada bulan Ramadan di zaman Khalifah Umar RA” Lebih lanjut dalam kitab Kasyfu at-tabarih dikatakan. وَاِذَا كَانَ اْلاَمْرُ كَذَلِكَ عَلِمْنَا اَنَّ اللَّذِيْنَ صَلُّوْا التَّرَاوِيْحَ الْيَوْمَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ مُخَلِّفُوْنَ لِلْاِجْمَاعِ اِنْ كَانَ فِى اَمْرٍ مَعْلُوْمٍ مِنَ الدِّيْنِ بِاالضَّرُوْرَةِ فَهُوَ كَافِرٌ وَاِلَّا فَهُوَ فَاسِقٌ وَهُمْ مُخَالِفُوْا أَيْضًا لِسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَمَنْ خَالَفَ سُنَّةَ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ غَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاَنَّهُ قَالَ فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ (رواه ابو داود والترميذ اھ كشف التاريح ص ١٤) “Dan jika perfmasalahannya seperti itu (dalil yang Qot’I adalah dalil ijma yang membenarkan bilangan rakaat tarawih 20 rakaat) maka dapat kita ketaahui bahwa mereka yang melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat adalah bertentangan dengan ijma dan orang yang menngingkari ijma tentang permasalahan yang sudah pasti dalam agama adalah kafir atau fasik dan merfeka juga berftentangan dengan sunah khulafaur Rosyiidin dan orang yang bertentangan dengan khulafaur Roysidin Juga bertentangan dengan Nabi SAW, karena ia boleh bersabda “ Berpegang teguhlah kamu sekalian dengan sunatku dan dengan sunat Khulafaur Rosyidin yang memberi petunjuk sesudahku (HR. Abu Daud dan At-tirmidi)

Pahala, Doa & Shodaqoh Pada Orang Yang Sudah Meninggal

Menurut pendapat ahli sunnah pahala, doa dan sodaqoh bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal dan dapat bermanfaat bagi mereka.Kalangan Ahlusunnah berhujjah dengan beberapa firman Allah Swt dan beberapa hadits shohih diantaranya : وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعْهُمْ ذُرِّيَّتَهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا اَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْئٍ كُلُّ إمْرِئٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنٌ (تاطور ٣١) Dan orang – orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap – tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya. Allah juga berfirman : أَبَائُكُمْ وَأَبْنَائُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (النساء :١١) Tentang orang tuamu dan anak –anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Dalam sebuah hadist shohih disebutkan: عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَجُلًا اَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوْصِ وَاَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم ،١٦٧٢) “Dan ‘Aisyah RA, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya meninggal secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi menjawab, “Ya”.” (HR.Muslim, :1672). Dalam kitab Nail al Authar juz IV juga disebutkan sebuah hadits soheh yang berbunyi: وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ اِنَّ أَبِي مَاتَ وَلَمْ يُوْصِ أَيَنْفَعُهُ اِنْ اَتَصَدَّقُ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ، (رواه أحمد ومسلم والنساء وابن ماجه) Dari Abu Hurairah, ia meriwayatkan: Ada laki-laki datang kepada Nabi lalu ia berkata: Ayahku telah meninggal dunia dan ia tidak berwasiat apa-apa. Apakah saya bias memberikan manfaat kepadanya jika saya bersedekah atas namanya? Nabi menjawab: Ya, dapat (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’I, dan Ibnu Majah). Hadits tersebut diatas menegaskan bahwa pahala shodakoh itu sampai kepada ahli kubur. Sementara di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa shodakoh tidak hanya berupa harta benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat la illaha illallah,subhanallah,dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini: عَنْ اَبِي دَرْأَنْ نَاسًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِي ص.م يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ اَهْلِ الدُّثُوْرِ بِالْاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا تُصَلَّى وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا تَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ اَمْوَالِهِمْ قَالَ اَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ اِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ (رواه مسبلم،١٦٧٤) “Dari Abu Dzarr RA,ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW,” Ya Rosulullah, orang-oarng yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “ Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim :1674 ). Dalam hadits lain disebutkan: وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ: تَصَدَّقُوْا عَلَى اَنْفُسِكُمْ وَعَلَى اَمْوَاتِكُمْ وَلَوْ بِشُرْبَةِ مَاءٍ فَاِنْ لَمْ تَقْدِرُوْا عَلَى ذَالِكَ فَبِأَيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ فَادْعُوْا لَهُمْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَاِنَّ اللهَ وَعَدَكُمُ اْلاِجَابَةِ. Sabda Nabi: Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air setejuk. Jika kalian tak mmampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat suci al-Qur’an, berdoalah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh, Allh telah berjanji akan mengabulkan doa kalian. Adzarami dan Nasa’i juga meriwayatkan hadis tentang tahlil dari Ibnu ‘Abbas RA. قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَعَانَ عَلَى مَيِّتٍ بِقِرَائَةٍ وَذِكْرٍ اِسْتَوْجَبَ اللهُ لَهُ الْجَنَّةَ. (رواه الدارمى والنساء عن ابن عباس.) Rasululloh bersabda: Siapa menolong mayit dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan Zikir, Alloh akan memastikan surga baginya.(HR.ad-Darimy dan Nasa’i dari Ibnu Abbas). Hadis diatas juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Daroqutni dari Anas bin Malik: رَوَى اَبُوْ بَكْرٍ النَحَادِ فِىْ كِتَابِ السُّنَنِ عَنْ عَلِى بْنِ اَبِي طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَرَّ بَيْنَ اْلمَقَابِرِ فَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ اِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ اَجْرَهَا لِلْاَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلاَمْوَاتِ. Diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Najjad dalam kitab Sunan bersumber dari Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan , Nabi bersabda: Siapa lewat diantara batu nisan, lalu membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan pahalanya untuk yang meninggal maka Alloh akan mengabulkannya. Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar oelh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an,tasbih, tahlil, shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Begitu pula dengan sedekah dan amal baik lainnya. Bahkan Ibnu Taimiyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya, “sesuai dengan kesepakatan para Imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.”(Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al_Arba’in,hal 36) Mengutip dari kitab Syarh al-Kanz, Imam al-Syaukani juga mengatakan bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainya, dan perbuatan baik tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah. (Nail al-Awthar, Juz IV, hal. 142) Kaiatnnya dengan firman Alloh dalam Sura an-Najm ayat 39 yang sering dijadikan sebagai dalail bagi orang yang mengatakan bahwa do’a atau pahala yang tidak sampai kepada mayit yaitu: وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩) “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS,an-Najm:39) Berikut ini beberapa penafsiran para ulama ahli tafsir mengenai ayat di atas: 1. Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ بِقَوْلِهِ “وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ” فَأُدْخِلَ اْلأَبْنَاءُ فِي اْلجَنَّةِ بِصَلَاحِ اْللأَبَاءِ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَأَمَّا هَذِهِ اْلأُمَّةُ فَلَهُمْ مَا سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمُ غَيْرُهُمْ (الفتوحات الإلهية,٤.٢٣٦) “Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. Al-Najm 39 tersebut dihapus dengan firman Allah SWT وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain” (Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236) 2. Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf : وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَلَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى فَهُوَ مُقَيًدٌ بِمَا إِذَالَمْ يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ وَمَعْنىَ ألْاَيَةِ أَنًهُ لَيْسَ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي الْأَخِرَةِ إِلًا مَا عَمِلَهُ فِي الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ غَيْرُهُ عَمَلًا وَيَهَبَهُ لَه فَاِّنَهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٢٣-٢٤ ) “Firman Allah SWT وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى perlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arbai’n, 23-24) 3. Menurut Syekh Muhammad Al-Arabi: أُرِيْدُ اْلِإنْسَانُ اْلكَافِرُ وَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَلَهُ مَاسَعَى أَخُوْهُ (اسعاف المسلمين والمسامات,٤٧) “Yang dimaksud dengan kata “al-insan” ialah orang kafir. Sedangkan manusia yang beriman, dia dapat menerima usaha orang lain. (Is’af Al-Muslimin wa Al-Muslimat, 47). Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39 yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hanbali (431-531 H) sebagai berikut: اَلْجَوَابُ الْجَيِّدُ عِنْدِيْ أَنْ يُقَالَ أَلْإِنْسَانُ بِسَعْيِهِ وَحُسْنِ عُشْرَتِهِ إِكْتَسَبَ اَلْأَصْدِقَاءَ وَأَوْلَدَ اْلأَوْلَادَ وَنَكَحَ اْلأَزْوَاجَ وَأَسْدَى اْلخَيْرَوَتَوَدَّدَ إِلَى النَّاسِ فَتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَأَهْدَوْا لَهُ اْلعِبَادَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ أَثَرُسَعْيِهِ (الروح, صحيفه: ١٤٥) “Jawaban yang paling baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik, serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 145). Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan: وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّمَاسَعَى فَإِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بَارًا بِهِمْ فِى حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّمُوْا عَلَيْهَ وَلَاتَطَوَّعُوْا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَإِحْسَانِهِ (الفقه الوضح,ج: ١,ص: ٤٤٩) “Menghadiah pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan ayat وان ليس للإنسا الإماسعى karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal 449). Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas jelaslah bahwa QS. Al-Najm ayat 39 bukanlah dalil yang menjelaskan tentang tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah meninggal, QS. Al-Najm ayat 39 tersebut bukanlah ayat yang melarang kita untuk mengirim pahala, do’a, shodaqoh kepada orang yang telah meninggal. Adapun hadits Abu Hurairoh RA yang sering dijadikan dalil untuk melarang orang yang tahlilan, berdo’a, dan bersodaqoh untuk orang yang sudah meninggal yaitu hadits yang berbunyi: عَنْ أَبِِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ, إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (صحيح مسلم,ص:٣٠٨٤ ) “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya” (Shahih Muslim, 3084). Yang dimaksud dengan ‘terputus’ dalam hadits di atas adalah amalnya sendiri, sedangkan amal orang lain tidak terputus. Mengenai hadits tersebut Ibnu Al-Qayyim berpendapat: فَإِنَّهُ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَقُلْ اِنْتِفَاعُهُ, وَإِنَّمَا أَخْبَرَ عَنِ انْقِطَاعِ عَمَلِهِ وَأَمَّا عَمَلُ غَيْرِهِ فَهُوَلِعَامِلِهِ فَإِنْ وَهَبَهُ لَهُ وَصَلَ إِليْهِ ثَوَابُ عَمَلِ الْعَامِلِ (الروح : ١٤٦) “Dari hadits tersebut Rasulullah SAW tidak bersabda “ … akan terputus manfaatnya …”. Beliau hanya menjelaskan bahwa amalnya akan terputus. Amal orang lain adalah tetap menjadi milik pelakunya, tapi bila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka pahala amalan itu akan sampai kepadanya. (Al-Ruh, 146). Ibnu Hazm juga berpendapat: أَنَّهُ لَايُفِيْدُ إِلَّا انْقِطَاعَ عَمَلِ الْمَيِّتِ لِنَفْسِهِ فَقَطْ وَلَيْسَ فِيْهِ دِلَالَةٌ عَلَى انْقِطَاعِ عَمَلِ غَيْرِهِ عَنْهُ أَصْلًا وَلَا اْلمَنْعَ مِنْ ذَلِكَ(حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٤٣ ) “Hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 43) Dari sini maka kita harus yaqin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Alloh SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud.

Pages - Menu