Sabtu, 11 Oktober 2014

CONTOH SOAL UTS GANJIL BAHASA ARAB KELAS XI

الاسم :
الفصل :

اجب عن هذه الاسئلة اجابة صحيحة !


١ - ماهو المضاف اليه ؟ هات مثالا جملة مفيدة !

٢- هات جملة مفيدة فيها الاضافة والمضاف من اسم منصوب !

٣- رَتِّبْ هذِهِ الْكَلِيْمَاتِ لِتَكُوْنَ جُمْلَةً مُفِيْدَاةً!

الْمُجْتَمَعُ – إلَى – الشَّبَابِ – يَخْتَاجُ - قُوَّةِ – الشُّيُوخِ – و – خِبْرَةِ

٤- رتب هذه الكلمات لتكون جملة!

فَاطِمَهْ – بِأَلَمٍ – فى – شَعُرَتْ - شَدِيْدً - أَسْنَانِهَا

٥ - ترجم إلى اللغة العربية

Rasulullah SAW mengutus pemimpin pasukan untuk perang mu'tah

Jumat, 10 Oktober 2014

RUJU' DI MASA IDDAH


KETENTUAN RUJU YANG MASIH DALAM MASA 'IDDAH
Bagaimana cara atau ketentuan ruju' yang masih dalam masa 'idah maupun diluar 'idah ? Mohon penjelasannya ?

Jawaban : Rujuk menurut bahasa artinya kembali (mengembalikan). Sedangkan ruju’ dalam istilah fikih munakahah (perkawinan) artinya kembalinya seorang suami kepada istrinya yang di talak raj’I, tanpa melalui perkawinan yang baru dalam masa ‘iddah. Ruju' hukumnya sunah mana kala akan mendatangkan kemaslahatan bagi suami-istri. Dasar yang digunakan dalam ruju' adalah QS. Al Baqarah; 228:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحًا

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah

Adapun ketentuan ruju' dalam nikah memiliki rukun dan syarat. Rukun ruju' yaitu 1) mahal (perempuan yang diruju'), 2) Shighat (ucapan ruju'), 4) murtaji' (suami yang meruju'). Sedangkan syarat ruju' meliputi; 1) thalak belum sampai tiga kali, 2) thalak terjadi setelah duhul (berhubungan badan), 3) thalak bukan thalak 'iwad (khulu'/gugat cerai) dan 4) wanita masih dalam masa 'iddah.

Adapun cara ruju' pada istri yang masih pada masa 'iddah raj'i adalah dengan ucapan yang mengandung maksud kembali pada ikatan perkawinan, misalnya : Aku ruju' (kembali) padamu, atau dengan sindiran halus dengan disertai niat ruju' missal : Saya pegang engkau” atau “saya kawin engkau” dan sebagainya. Dalam ruju' pada saat istri masih dalam masa 'iddah disunahkan mempersaksikan, namun tidak wajib. Sedangkan ruju' di saat istri sudah habis masa I'ddah Raj'i maka harus akad nikah baru yakni seperti ketentuan nikah pada umumnya (dengan wali, saksi, mahar dan lain-lainya)

Referensi : Al Iqna' J. 2 hlm 109 dan 449, Fathul Mu'in 116, 'Ianah j. 4 hlm 29, Bajuri J. 2 hlm 152, Fathul Wahab J. 2 hlm 88

الإقناع - (ج 2 / ص 109)

أركان الرجعة أركانها ثلاثة: محل وصيغة ومرتجع.

وأما الطلاق فهو سبب لا ركن، وبدأ المصنف بشروط الركن الاول وهو محل بقوله: (وشروط) صحة (الرجعة أربعة) وترك خامسا وسادسا كما ستعرفه: الاول (أن يكون الطلاق دون الثلاث) في الحر ودون اثنين في الرقيق، ولو قال كما في المنهاج لم يستوف عدد الطلاق لشمل ذلك أما إذا استوفى ذلك فإنه لا سلطنة له عليها. (و) الثاني (أن يكون) الطلاق (بعد الدخول بها) فإن كان قبله فلا رجعة له لبينونتها وكالوطئ استدخال المني المحترم.(و) الثالث (أن لا يكون الطلاق بعوض) منها أو من غيرها فإن كان على عوض فلا رجعة كما تقدم توجيهه في الخلع.(و) الرابع (أن تكون) الرجعة (قبل انقضاء العدة)

الإقناع - (ج 2 / ص 449)

وسن إشهاد عليها خروجا من خلاف من أوجبه وإنما لم يجب لأنها في حكم استدامة النكاح السابق وإنما وجب الإشهاد على النكاح لإثبات الفراش وهو ثابت هنا تنبيه قد علم مما تقرر أن الرجعة لا تحصل بفعل غير الكتابة وإشارة الأخرس المفهمة كوطء ومقدماته وإن نوى به الرجعة لعدم دلالته عليها ( فإذا انقضت عدتها ) بوضع حمل أو أقراء أو أشهر ( كان له ) إعادة ( نكاحها بعقد جديد ) بشروطه المتقدمة في بابه لبينونتها حينئذ

Wallaahu A'lam.

TANDA-TANDA AKHIR ZAMAN

Tanda pertama

Dari Ibnu Umar Ra. ia berkata: “Pada satu ketika dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepotong emas. Emas itu adalah emas zakat yang pertama sekali dibawa oleh Bani Sulaim dari pertambangan mereka. Maka sahabat berkata: “Hai Rasulullah! Emas ini adalah hasil dari tambang kita”. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Nanti kamu akan dapati banyak tambang-tambang, dan yang akan menguasainya adalah orang-orang jahat. (HR. Baihaqi)

Kita telah mulai melihat bahwa penguasa-penguasa negara yang mengaku muslim namun mereka menyerahkan penguasaan tambang minyak, emas, tembaga kepada kaum non muslim.

Tanda kedua

Dan Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman Al Qari dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya, tetapi dia tidak mendapatkan seorang pun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur Makmur kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai." (HR Muslim 1681)

Sekarang kita telah mulai menyaksikan kebenaran sabda junjungan kita ini. Kita banyak melihat tanah Arab yang dahulunya tandus dan kering kerontang tetapi sekarang telah mulai menghijau dan ditumbuhi rumput-rumputan dan pohon-pohon kayu. Contohnya, Padang Arafah yang ada di Mekkah al-Mukarramah yang dahulunya hanya dikenali sebagai padang pasir tandus dan tidak ada pohon-pohonan. Sekarang ini Padang Arafah mulai dipenuhi pohon-pohonan, sehingga kelihatan menghijau dan kita dapat berteduh di bawah naungannya. Keadaan ini walaupun menyejukkan mata memandang namun ia mengurangi gambaran keadaan padang Mahsyar, tempat berhimpunnya seluruh makhluk pada hari qiamat nanti yang merupakan tujuan utama dan pelajaran penting yang diambil dari ibadah wuquf jamaah Haji di Padang Arafah pada setiap 9 Zulhijjah tahun Hijriyah.

Tanda ketiga.

Telah bercerita kepada kami Yahya bin Bukair telah bercerita kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair bahwa Zainab binti Abu Salamah bercerita kepadanya dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan dari Zainab binti Jahsy radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang kepadanya dengan gemetar sambil berkata: Laa ilaaha illallah, celakalah bangsa Arab karena keburukan yang telah dekat, hari ini telah dibuka benteng Ya'juj dan Ma'juj seperti ini. Beliau memberi isyarat dengan mendekatkan telunjuknya dengan jari sebelahnya. Zainab binti Jahsy berkata, Aku bertanya; Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa sedangkan di tengah-tengah kita banyak orang-orang yang shalih?. Beliau menjawab: Ya, benar jika keburukan telah merajalela. (HR Bukhari 3097 , 3331, 6535, 6602) (HR Muslim 128, 5129)

Ketika itu bangsa Arab, banyak orang muslim tetapi tidak banyak lagi muslim yang shalih, di tanah Arab tidak banyak lagi orang muslim yang mencapai maqom disisiNya

Tanda keempat

Dari Sahl bin Saad as-Sa ‘idi Ra. ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ya Allah! Jangan Engkau pertemukan aku dan mudah-mudahan kamu (sahabat) tidak bertemu dengan suatu zaman dikala para ulama sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang penyantun sudah tidak dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam (pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya).” (HR. Ahmad)

Orang banyak mengikuti ulama yang fasih berbahasa arab akan tetapi mereka tidak dapat menggunakan hati mereka untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.

Tanda kelima

Dari Ali bin Abi Thalib Ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.: “Sudah hampir tiba suatu zaman, kala itu tidak ada lagi dari Islam kecuali hanya namanya, dan tidak ada dari Al-Qur’an kecuali hanya tulisannya. Masjid-masjid mereka indah, tetapi kosong dari hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-jahat makhluk yang ada di bawah kolong langit. Dari merekalah keluar fitnah, dan kepada mereka fitnah itu akan kembali .” (HR. al-Baihaqi)

Orang banyak mengikuti ulama yang berilmu namun kosong hidayah dan menebar fitnah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”

Tanda keenam

Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)

Keadaan orang banyak mengikuti mereka yang berfatwa tanpa ilmu. Berfatwa menggunakan akal pikiran sendiri.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Ilmu agama atau ilmuNya bukan berasal dari akal pikiran manusia namun berasal dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berasal dari apa yang telah diwahyukan oleh Allah Azza wa Jalla.

Kemudian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disampaikan melalui lisan ke lisan ulama yang sholeh sampai kepada hambaNya.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Mereka yang berfatwa tanpa ilmu, mereka memahami agama bersandarkan muthola'ah (menelaah kitab) dengan akal pikirannya sendiri.

Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya, maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah”

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.

Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan agama kepada Sahabat. Sahabat menyampaikan kepada Tabi’in. Tabi’in menyampaikan pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad dan beristinbat berlandaskan hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh

Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra

1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra

3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra

4. Al-Imam Malik bin Anas ra

5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra

Tanda ketujuh

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa Islam pada akhirnya akan asing pula sebagaimana pada awalnya karena pada umumnya kaum muslim walaupun mereka banyak dan menjalankan perkara syariat namun mereka gagal mencapai maqom disisiNya, mereka gagal menjadi muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat , muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)

“Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]

Islam pada awalnya datang dengan asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) . Tujuan beragama adalah untuk menjadikan manusia yang berakhlakul karimah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)

Beruntunglah orang orang yang asing yakni orang yang sholeh diantara orang yang rusak / buruk maknanya semakin akhir zaman maka semakin sedikit muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).

Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik

Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“

Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”

Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”

Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)

Wassalam

SILATURRAHIM ATAU SILATURRAHMI

Ada ayat al-qur'an yang menganjurkan pentingnya silaturrahim

(( إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْأِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ)) (النحل:90).

وقال سبحانه وتعالى : (( فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ)) (محمد:23).

adapun shilaturrohmi atau shilaturrohim mana yang benar keduanya sama-sama benar. essensinya sama yakni shilah (صلة) menyambung dan rahim (الرحيم ) jamaknya arham. Bisa dirujuk ke ilmu bahasa ada polisemi, hipernim dan hiponim. misalnya poliseninya kue, maka hipernimnya donat, kucur, jemblem dan lain-lain. odol misalnya, hipernimnya pepsodent, ritadent, dll.

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليصل رحمه

Man kaana yu'minu billahi wal yaumil akhir fal yashil rahimau (sesiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaklah silaturrahim) hadis riwayat bukhori

من احب ان يـبسط له فى رزقه وينسأ له فى اثره فليصل رحمه (متفقن عليه)

Artinya: Sesiapa yang ingin dimurahkan rezkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia bersilaturrahmi.

Penjelasan kata ro, ha, mim (رحم )

Ada dua bacaan (1) dibaca rohm dan (2) rihm

Menurut Ibn Manzur dalam lisan al-arab jilid 12, hal. 232, makna رحم adalah kerabat dekat, adapun menurut al-Raghib adalah peranakan tempat bersemanyamnya anak.

(١) قال ابن منظور في لسان العرب ١٢ / ٢٣٢: الرحم (بفتح الراء وكسر الحاء) أسباب

القربة، وأصلها الرحم التي هي منبت الولد، وهي الرحم (بكسر الراء وسكون الحاء)

. الجوهري: الرحم القرابة، والرحم بالكسر مثله.

Dari berbagai sumber kamus bahasa makna ro, ha' mim, mengandungi 22 makna

(1)

رحم:

ر ح م: الرَّحْمَةُ الرقة والتعطف و المَرْحَمَةُ مثله وقد رَحِمَهُ بالكسر رَحْمَةً و مَرْحَمَةً أيضا و تَرَحَّمَ عليه و تَرَاحَمَ القوم رَحِمَ بعضهم بعضا و الرَّحَمُوتُ من الرحمة يقال رهبوت خير من رحموت أي لأن تُرهَب خير من أن تُرحَم و الرَّحِمُ القرابة والرحم أيضا بوزن الجسم مثله و الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ اسمان مشتقان من الرحمة ونظيرهما نديم وندمان وهما بمعنى ويجوز تكرير الاسمين إذا اختلف اشتقاقهما على وجه التأكيد كما يقال فلان جاد مجد إلا أن الرحمن اسم مختص بالله تعالى ولا يجوز أن يسمى به غيره ألا ترى أنه سبحانه وتعالى قال {قل ادعوا الله أو ادعوا الرحمن} فعادل به الاسم الذي لا يشركه فيه غيره وكان مسيلمة الكذاب يقال له رَحْمَانُ اليمامة و الرَّحِيمُ قد يكون بمعنى المرحوم كما يكون بمعنى الراحم و الرُّحْمُ بالضمة الرحمة قال الله تعالى {وأقرب رحما} و الرُّحُمُ بضمتين مثله

المعجم: مختار الصحاح

(2)

رحم : مرحوم:

اسم مفعول من رحِمَ.

• المرحوم: الميِّت (تفاؤلاً بتمتعه برحمة الله وعفوه) "ذكرى وفاة المرحوم فلان".

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(3)

رحم : رُحْمى:

رحمة، رقَّة القلب وعطف يقتضي المغفرة والإحسان "رُحْماك ياربّ: ارحمني".

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(4)

رحم : رحِمَ يَرحَم، رَحمةً ورُحْمًا، فهو راحِم، والمفعول مَرْحوم:

• رحِم يتيمًا

رقَّ له وعطَف عليه "ضربه بلا رحمة ولا شفقة- كان يوم فتح مكة يوم الرَّحمة- ارْحَمُوا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ [حديث]- {كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ}: أوجبها على نفسه كرمًا منه وفضلاً- {وَأَقْرَبَ رُحْمًا} ".

• رحِم اللهُ فلانًا: تعطَّف عليه وأحسن إليه ورزقه " {وَإلاَّ تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ} " ° رحِمه الله/ الله يرحمه: دعاء للميِّت- يرحمك الله: تشميت للعاطس.

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(5)

رحم : رُحْم:

1 - مصدر رحِمَ.

2 - علاقة القرابة وسببها " {فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا} ".

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(6)

رحم : رَحيم:

ج رحيمون ورُحَماء: صيغة مبالغة من رحِمَ: كثير الرّحمة والشفقة "أبٌ/ شيخٌ رحيم- إنه حاكم عادل بين الناس، رحيم بالضعفاء- {أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ} ".

• الرَّحيم: اسم من أسماء الله الحسنى، ومعناه: الرَّفيق بالمؤمنين، والعاطف على خلقه بالرِّزق، والمثيب على العمل " {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ".

• القتل الرَّحيم: إنهاء حياة المرضى الميئوس من شفائهم طبِّيًّا.

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(7)

رحم : رَحْمَن:

• الرَّحمن

1 - اسم من أسماء الله الحسنى، ومعناه: ذو الرَّحمة التي لا غايةَ بعدها في الرّحمة، الذي وسعت رحمتُه كلَّ شيء، الذي يُزيح العلل ويُزيل الكروب، العطوفُ على عباده بالإيجاد أوّلاً، وبالهداية إلى الإيمان وأسباب السّعادة ثانيًا، وبالإسعاد في الآخرة ثالثًا، المنعِمُ بما لا يُتصوَّر صدورُ جنسه من العباد " {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ".

2 - اسم سورة من سور القرآن الكريم، وهي السُّورة رقم 55 في ترتيب المصحف، مدنيَّة، عدد آياتها ثمانٍ وسبعون آية.

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(8)

رحم : رَحْمَة:

ج رَحَمات (لغير المصدر) ورَحْمات (لغير المصدر):

1 - مصدر رحِمَ ° الرَّحمة: نداء لالتماس المغفرة والصفح أو لاستثارة الشفقة- تغمَّده الله برحمته/ انتقل إلى رحمة الله: تُوفِّي، مات- ملائكة الرَّحمة: كناية عن الممرِّضات- وضَعه تحت رحمته/ جعله تحت رحمته: تحكَّم فيه.

2 - خير ونعمة " {وَإِذَا أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً مِنْ بَعْدِ ضَرَّاءَ} ".

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(9)

رحم : رَحِميَّة:

اسم مؤنَّث منسوب إلى رَحِم: "أواصر/ التهابات رحميّة".

• نزعة رحمِيَّة: نزعة تميل إلى إيجاد علاقة قويَّة ومتينة تجمع بين الأشخاص أو الأشياء.

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(10)

رحم : رَحِم:

ج أَرحام، مؤ رَحِم، ج مؤ أَرحام:

1 - قرابة أو أسبابها "ونحن في الشرق والفصحى بنو رحمٍ ... ونحن في الجُرح والآلام إخوانُ- إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ [حديث]- {فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ} " ° أولو الأرحام/ ذوو الأرحام: الأقارب الذين ليسوا من العَصَبة ولا من ذوي الفروض، كبنات الإخوة وبنات الأعمام- صِلَة الرَّحِم: زيارة الأقارب والإحسان إليهم، وعكسها قطيعة الرَّحم.

2 - (حي، شر) عضو عضليّ أجوف غليظ الجدار يوجد في بطن الثدييات، وفيه يتكوّن الجنين وينمو إلى أن يُولد (يذكَّر ويؤنَّث) " {هُوَ الَّذِي يُصَوِّرُكُمْ فِي الأَرْحَامِ كَيْفَ يَشَاءُ} ".

• حلقتا الرَّحم: (طب) حلقة على فم الفرج عند طرفه والحلقة الأخرى تنضمّ على الماء وتنفتح للحَيْض.

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(11)

رحم : رَحُوم:

صيغة مبالغة من رحِمَ: كثير الرَّحمة (للمذكر والمؤنث).

المعجم: اللغة العربية المعاصر

(12)

رحم : رَحَموت:

شفقة ورحمة عظيمة "رَهبوتٌ خيرٌ لك من رَحَمُوت [مثل]: لأن تُرهَبَ خيرٌ لك من أن تُرْحَمَ لأن الذي يخافه النَّاس يقتضي أن يكون ع�

Adapun pecahan kalimat ro' ha' mim ( رحم ) sebagai berikut :

(1) الرَّحْمة (2) المرْحَمَةُ (3) مَرْحومٌ (4)الرَّحْمَنُ (5)الرحيم(6)راحِمٌ (7) رَحِمٌ (8) رُحُماً (9) الرِحْمُ (10) الرُّحْمُ

Kesimpulannya dari aspek semiotika-leksikografi perkataan silaturahmi mempunyai arti sama dengan silaturahim hanya saja penyebutan silaturahmi kurang tepat dan yg tepat silaturrahim. Sungguhpun ini hanya ijtihad lughawi, kalau lepat mohon ngapuro. Suwun. Adapun perkataan silah (صلة) asal kata وصل يصل وصلا atau وصل يصل صلة yang bermakna sambung ( الوصل) lawan darpada putus (ضد القطع). Pada pendapat Ibn Athir yang dimaksud dengan صلة الرحم adalah berbaik-baik kepada kerabat dekat yang masih ada hubungan keluarga

( يقول الإمام ابن الأثير : صلة الرحم هي الإحسان الى الأقربين من ذوي النسب).

I'ROB BASMALAH

إِعْرَابُ ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

الْبَاءُ فِي : بِسْمِ مُتَعَلِّقَةٌ بِمَحْذُوفٍ ; فَعِنْدَ الْبَصْرِيِّينَ الْمَحْذُوفُ مُبْتَدَأٌ وَالْجَارُّ وَالْمَجْرُورُ خَبَرُهُ ، وَالتَّقْدِيرُ ابْتِدَائِي بِسْمِ اللَّهِ ; أَيْ كَائِنٌ بِاسْمِ اللَّهِ ; فَالْبَاءُ مُتَعَلِّقَةٌ بِالْكَوْنِ وَالِاسْتِقْرَارِ .

وَقَالَ الْكُوفِيُّونَ : الْمَحْذُوفُ فِعْلٌ تَقْدِيرُهُ ابْتَدَأْتُ ، أَوْ أَبْدَأُ ، فَالْجَارُّ وَالْمَجْرُورُ فِي مَوْضِعِ نَصْبٍ بِالْمَحْذُوفِ ، وَحُذِفَتِ الْأَلِفُ مِنَ الْخَطِّ لِكَثْرَةِ الِاسْتِعْمَالِ ، فَلَوْ قُلْتَ لِاسْمِ اللَّهِ بَرَكَةٌ أَوْ بِاسْمِ رَبِّكَ ، أَثْبَتَّ الْأَلِفَ فِي الْخَطِّ .

وَقِيلَ حَذَفُوا الْأَلِفَ ; لِأَنَّهُمْ حَمَلُوهُ عَلَى سِمٍ ، وَهِيَ لُغَةٌ فِي اسْمٍ .

وَلُغَاتُهُ خَمْسٌ : سِمٌ بِكَسْرِ السِّينِ وَضَمِّهَا ، اسْمٌ بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ وَضَمِّهَا ، وَسُمَى مِثْلُ ضُحَى .

وَالْأَصْلُ فِي اسْمٍ : سُمُوٌ فَالْمَحْذُوفُ مِنْهُ لَامُهُ يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ قَوْلُهُمْ فِي جَمْعِهِ أَسْمَاءُ وَأَسَامِي وَفِي تَصْغِيرِهِ " سُمَيٌّ " وَبَنَوْا مِنْهُ فَعِيلًا ، فَقَالُوا فُلَانٌ سَمِيُّكَ : أَيِ [ ص: 10 ] اسْمُهُ كَاسْمِكَ ، وَالْفِعْلُ مِنْهُ سَمَّيْتُ وَأَسْمَيْتُ ; فَقَدْ رَأَيْتَ كَيْفَ رَجَعَ الْمَحْذُوفُ إِلَى آخِرِهِ .

وَقَالَ الْكُوفِيُّونَ : أَصْلُهُ وَسَمَ لِأَنَّهُ مِنَ الْوَسْمِ ، وَهُوَ الْعَلَامَةُ وَهَذَا صَحِيحٌ فِي الْمَعْنَى فَاسِدٌ اشْتِقَاقًا .

فَإِنْ قِيلَ : كَيْفَ أُضِيفَ الِاسْمُ إِلَى اللَّهِ ، وَاللَّهُ هُوَ الِاسْمُ ؟ .

قِيلَ فِي ذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ : أَحَدُهَا : أَنَّ الِاسْمَ هُنَا بِمَعْنَى التَّسْمِيَةِ ، وَالتَّسْمِيَةُ غَيْرُ الِاسْمِ ; لِأَنَّ الِاسْمَ هُوَ اللَّازِمُ لِلْمُسَمَّى ، وَالتَّسْمِيَةُ هُوَ التَّلَفُّظُ بِالِاسْمِ . وَالثَّانِي : أَنَّ فِي الْكَلَامِ حَذْفُ مُضَافٍ ، تَقْدِيرُهُ بِاسْمِ مُسَمَّى اللَّهِ . وَالثَّالِثُ أَنَّ اسْمًا زِيَادَةٌ ; وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُهُ : إِلَى الْحَوْلِ ثُمَّ اسْمُ السَّلَامِ عَلَيْكُمَا وَقَوْلُ الْآخَرِ : دَاعٍ يُنَادِيهِ بِاسْمِ الْمَاءِ أَيِ السَّلَامُ عَلَيْكُمَا ، وَنُنَادِيهِ بِالْمَاءِ .

وَالْأَصْلُ فِي اللَّهِ الْإِلَاءُ ، فَأُلْقِيَتْ حَرَكَةُ الْهَمْزَةِ عَلَى لَامِ الْمَعْرِفَةِ ثُمَّ سُكِّنَتْ وَأُدْغِمَتْ فِي اللَّامِ الثَّانِيَةِ ، ثُمَّ فُخِّمَتْ إِذَا لَمْ يَكُنْ قَبْلَهَا كَسْرَةٌ ، [ وَرُقِّقَتْ إِذَا كَانَتْ قَبْلَهَا كَسْرَةٌ ] وَمِنْهُمْ مَنْ يُرَقِّقُهَا فِي كُلِّ حَالٍ ، وَالتَّفْخِيمُ فِي هَذَا الِاسْمِ مِنْ خَوَاصِّهِ .

وَقَالَ أَبُو عَلِيٍّ : هَمْزَةُ إِلَاهٍ حُذِفَتْ حَذْفًا مِنْ غَيْرِ إِلْقَاءٍ ، وَهَمْزَةُ إِلَاهٍ أَصْلٌ ; وَهُوَ مِنْ أَلِهَ يَأْلَهُ إِذَا عُبِدَ ، فَالْإِلَهُ مَصْدَرٌ فِي مَوْضِعِ الْمَفْعُولِ أَيِ الْمَأْلُوهِ ، وَهُوَ الْمَعْبُودُ .

وَقِيلَ أَصْلُ الْهَمْزَةِ وَاوٌ ; لِأَنَّهُ مِنَ الْوَلَهِ ، فَالْإِلَهُ تَوَلَّهُ إِلَيْهِ الْقُلُوبُ ; أَيْ تَتَحَيَّرُ .

وَقِيلَ أَصْلُهُ لَاهُ عَلَى فَعِلَ ، وَأَصْلُ الْأَلِفِ يَاءٌ ; لِأَنَّهُمْ قَالُوا فِي مَقْلُوبِهِ لَهِيَ أَبُوكَ ثُمَّ أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ الْأَلِفُ وَاللَّامُ .

( الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) صِفَتَانِ مُشْتَقَّتَانِ مِنَ الرَّحْمَةِ .

وَالرَّحْمَنُ مِنْ أَبْنِيَةِ الْمُبَالَغَةِ . وَفِي الرَّحِيمِ مُبَالَغَةٌ أَيْضًا ; إِلَّا أَنَّ فَعْلَانًا أَبْلَغُ مِنْ فَعِيلٍ .

وَجَرُّهُمَا عَلَى الصِّفَةِ ; وَالْعَامِلُ فِي الصِّفَةِ هُوَ الْعَامِلُ فِي الْمَوْصُوفِ .

وَقَالَ الْأَخْفَشُ : الْعَامِلُ فِيهَا مَعْنَوِيٌّ وَهُوَ كَوْنُهَا تَبَعًا وَيَجُوزُ نَصْبُهُمَا عَلَى إِضْمَارِ أَعْنِي ، وَرَفْعُهُمَا عَلَى تَقْدِيرِ هُوَ .



فائدة في أوجه البسملة الجائزة لغة : مجموع الأوجه تسعة منها سبعة أوجه جائزة و وجهان ممتنعان

الوجه الأول : خفضهما جميعا ( أي الرحمن و الرحيم ) على أنهما صفتان " لله "
بسم الله الرحمنٍ الرحيمٍ

الوجه الثاني : رفعهما جميعا على أنهما خبر لمبتدأ محذوف تقديره " هو "
بسم الله الرحمن هو الرحمن’ هو الرحيم’

الوجه الثالث : نصبهما جميعا . على أنهما مفعول به لفعل محذوف تقديره " أقصد "
بسم الله أقصد الرحمنَ أقصد الرحيمَ

الوجه الرابع : خفض الأول و رفع الثاني . على أن الأول صفة لله و الثاني خبر لمبتدأ محذوف تقديره " هو "
بسم الله الرحمن ِ هو الرحيم’

الوجه الخامس : خفض الأول و نصب الثاني . على أن الأول صفة لله و الثاني على أنه مفعول به لفعل محذوف تقديره " أقصد "
بسم الله الرحمن ِ أقصد الرحيم َ

الوجه السادس : رفع الأول و نصب الثاني . على أن الأول خبر لمبتدأ محذوف تقديره " هو " و الثاني على أنه مفعول به لفعل محذوف تقديره " أقصد "
بسم الله هو الرحمن ’ أقصد الرحيم َ

الوجه السابع : نصب الأول و رفع الثاني . فالأول على أنه مفعول به لفعل محذوف تقديره " أقصد " و الثاني على أنه خبر لمبتدأ محذوف تقديره " هو "
بسم الله أقصد الرحمن َ هو الرحيم’

الوجه الثامن ( ممتنع ) : رفع الأول و خفض الثاني . لامتناع خفض الثاني للانقطاع
بسم الله هو الرحمن’ الرحيم ِ

الوجه التاسع ( ممتنع ) : نصب الأول و خفض الثاني . لامتناع خفض الثاني
بسم الله أقصد الرحمن َ الرحيمِ

ملاحظة : الأوجه السبعة جائزة لغة فقط ، أما قراءة فالوجه الجائز هو الأول فقط .

[ Agus Sutopo ]

CERITA SEJARAH ILMU NAHWU

Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali kaidah-kaidahnya.

Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain dari sisi bahwa ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan al-Qur’an secara khusus. Hal ini terutama ketika didapati banyak penyim-pangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasa-nya mereka harus menjaga al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.

Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatkan perhatian yang luar biasa dalam perkembangannya, sampai-sampai dikatakan, "Ilmu nahwu telah dipelajari dengan giat sampai terbakar." Yang demkian ini tentu saja menunjukkan adanya gerakan-gerakan ilmiah yang cemerlang sepanjang perkembangannya, terutama pada saat orang-orang Kufah memasuki dunia studi ilmu nahwu sebagai rival bagi orang-orang Bashrah yang selama beberapa saat telah terlebih dahulu memegang panji ilmu nahwu. Persaingan positif tersebut telah mengakibatkan berbagai perbaikan dan pengkajian yang mendalam, sehingga ilmu nahwu pun berkembang dengan cepat dan akhirnya mengalami formasi pada periode yang sangat dini, yang hal itu belum terjadi pada ilmu-ilmu yang lain.

Dan sungguh sejarah kemanusiaan telah mencatat hal tersebut melalui mereka yang telah mengungkap hal yang menakjubkan ini. Sementara, apa yang sejauh ini dipahami oleh orang-orang Arab tidaklah sebagaimana yang digambarkan di atas, dimana orang-orang Arab telah berusaha keras menyusun ilmu yang paling mula-mula dari ilmu-ilmu bahasa, yakni ilmu nahwu.

Penyusunan ilmu nahwu tidaklah sebagaimana gambaran-gambaran negatif yang telah disebutkan di atas. Penyusunan tersebut mencakup definisi istilah-istilahnya, pembentukan kaidah-kaidahnya, dan penjagaan terhadap hukum-hukumnya. Semua ini merupakan hal yang sungguh-sungguh menakjubkan, yang dilakukan oleh para ahlinya dengan pola pikir Arab. Mereka telah melakukannya dengan tekun dan sungguh-sungguh, meskipun ada sementara kalangan yang karena pretensi buruk meragukan prestasi dan kemampuan intelektual mereka dengan mengatakan, ”Sesungguhnya orang-orang Arab telah berhasil melakukan pekerjaan besar ini dengan bersandar pada orang lain yakni para ahli tata bahasa lain seperti India dan sebagainya. Mereka berargumentasi bahwa kebudayaan Yunani -yang merupakan warisan kebudayaan India- telah beralih ke Arab melalui orang-orang Suryani.

Ada pula sekelompok orang yang ingin bersikap tengah-tengah diantara dua pendapat yang ada dengan mengatakan, Sesungguhnya dasar-dasar metodologi yang dengan itu orang-orang Arab menyusun Ilmu Nahwu mereka bukanlah milik orang Arab, namun implementasi pengembangannya merupakan pekerjaan orang Arab. Namun, agaknya pendapat yang pertama lebih tepat tanpa ada keinginan untuk melebih-lebihkan dan membuat-buat.

Dari sini, dan karena hal ini serta yang lainnya, studi tentang sejarah tata bahasa Arab harus dilakukan dengan teliti, tekun, dan bebas tanpa sikap ekstrim, agar menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang bebas dari bias dan manipulasi, yang dipelajari di ma’had-ma’had dan kampus-kampus kita, yang banyak mempelajari bahasa dan tata bahasa Arab. Dengan demikian pada akhirnya para mahasiswa kita akan mengenal khazanah klasik mereka, meyakini orisinalitasnya, dan tsiqah terhadap pemikiran para pendahulu kita yang mana Al-Qur’an telah membukakan mata mereka terhadap kebaikan yang banyak dan ilmu yang beragam. Sebaliknya, mereka pun menjaga al-Qur’an dari manipulasi orang-orang yang sesat, penakwilan orang-orang yang berpretensi negatif, dan syubhat yang ditiupkan oleh orang-orang yang durjana.

Cikal Bakal Ilmu Nahwu

Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya. Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian al-Qur'an dari lahn (salah baca). Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyiduu akhaakum fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qannii kitaabak sawthan" 'berhati-hatilah dalam menulis'. Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mem-pengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab seringkali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca al-Qur'an.

Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurni-kan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Selanjutnya, dengan prakarsa Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang mempunyai komitmen terhadap bahasa Arab dan al-Qur'an, sedikit demi sedikit disusun kerangka-kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan Ilmu Nahwu. Sebagaimana terjadi pada ilmu-ilmu lain, Ilmu Nahwu tidak begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat, melainkan ber-kembang tahap demi tahap dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Ada cerita yang menarik seputar cikal bakal terbentuknya ilmu nahwu diantaranya :

Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun, ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu. Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad ad-Du'ali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad ad-Du'ali, bahwasanya ketika ia sedang ber-jalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, (مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ) “Apakah yang paling indah di langit?” Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan, (نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ) “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, (اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ) “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”. Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, (مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ) “Betapa indahnya langit.” Bukan, (مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِِ) “Apakah yang paling indah di langit?” Dengan memfathahkan hamzah…"

Dikisahkan pula dari Abul Aswad ad-Du'ali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat at-Taubah ayat 3 dengan ucapan, (أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ), dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya...” Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah, (أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ) “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad ad-Du'ali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia mem-perbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad ad-Duali, (اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ) “Ikutilah jalan ini”. Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah)

Kemudian Abul Aswad ad-Du'ali melaksana-kan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang men-cukupi. Kemudian, dari Abul Aswad ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al-Khalil al-Farahidi al-Bashri (peletak ilmu ‘Arudh dan penulis Mu’jam pertama), sampai ke Sibawaih dan Kisa'i (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).

Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Bashrah dan Kufy (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.

Peletak Dasar Ilmu Nahwu

Adalah bangsa Arab dahulu pada masa Jahiliyah mendiami jazirah Arab, yang mana mereka tidak bercampur dengan bangsa-bangsa 'Ajam (bukan Arab) melainkan hanya terkadang saja. Dan yang demikian mengakibatkan fasihnya dialek mereka dalam bahasa Arab, dan kuatnya mereka dalam menerangkan bahasa Arab, serta jauhnya mereka dari kesalahan berbicara dan penyimpangan dalam suku Quraisy menempati kedudukan yang mulia, yang menjadikan bahasa Arab. Dan adalah mereka pemuka bagi kabilah-kabilah Arab lainnya. Suku Quraisy-lah yang memonopoli pelayanan terhadap Ka’bah. Dan bangsa Arab pergi menunaikan haji ke Ka’bah setiap tahun untuk tujuan ekonomi, seperti berdagang, saling tukar menukar barang dagangan dan juga tujuan-tujuan kesusasteraan, seperti menyaksikan perkumpulan ahli pidato dan syair di pasar-pasar “Ukadz” dan “Majnah” dan “Dzil Majaz”.

Tempat-tempat itulah, tempat dimana para penyair dan ahli pidato dari seluruh penjuru bangsa Arab bertemu untuk membanggakan keturunan, berlomba dalam berpidato, saling bersyair, serta ber-hukum kepada orang-orang yang mulia dari kalangan penyair dan ahli pidato, agar mereka menetapkan keputusan atau menghukumi mereka. Dan dari kalangan mereka terdapat seorang hakim yang masyhur yang bernama “adz-Dzibyani”, yang mana keputusannya ditaati dan tidak ditolak. Dan sungguh suku Quraisy dengan aspek-aspek pendorong yang diberikan kepada mereka ini, mampu untuk menjadi suku atau kabilah yang paling bersih dialeknya dan paling fasih bahasa mereka, serta paling mencukupi penjelasannya. Maka dialek Quraisy menguasai atas segala dialek-dialek bahasa Arab.

Para ahli sastra pun berlomba-lomba mem-pergunakan dialek Quraisy, sehingga tersebarlah dialek itu diseluruh penjuru jazirah Arab, dan hal ini adalah yang memperkenankan diturunkannya al-Qur’an dengan dialek Quraisy ketika “bersinar” matahari Islam atas jazirah Arabiyyah, dan manusia masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, (hal ini) mengharuskan bangsa Arab untuk tersebar di permukaan bumi serta berhubungan dengan manusia, bercampur dengan bangsa selain Arab diseluruh penjuru negeri yang ditaklukkan oleh kaum muslimin. Dimana dahulu (kaum muslimin) adalah “Mujahidin” (pejuang-pejuang agama) yang mana mereka bergerak dengan “dakwah yang baru” ke seluruh penjuru alam. Dan sungguh (hal ini) menimbulkan hubungan erat dengan penduduk negeri-negeri (yang ditaklukkan oleh kaum muslimin). Dan merekapun saling tukar-menukar barang-barang perdagangan. Lalu mereka pun menikahi (penduduk-penduduk negeri yang ditaklukkan itu), maka tumbuhlah generasi baru dari anak-anak yang terlahir yang tidak mampu “mengikat” lidah mereka (dengan bahasa Arab), dari sinilah kefasihan dan kelancaran bahasa Arab, dan tabiat mereka rusak, hingga mucullah “kesalahan pengucapan bahasa Arab”, kemudian memencar dan bertambah luaslah (kesalahan pengucapan bahasa Arab ini) hingga mencemaskan dan menggelisahkan “Mereka yang punya rasa cemburu” pada kefasihan bahasa Arab, dan menggoncangkan jiwa-jiwa mereka.

Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama Ilmu Nahwu, ada perbedaan dikalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus. Namun, dari perbedaan-perbedaan itu pendapat yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), al-Mubarrad (wafat 285 H), as-Sairafi (wafat 368 H), ar-Raghib al-Ashfahaniy (502 H), dan as-Suyuthi (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa as-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif. Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu.

Abul Aswad ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang termenung memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab: "Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad mendatangi Ali dengan membawa lembaran yang bertuliskan antara lain:

"Bismillahir rahmaanir rahiim. Al-kalaamu kulluhu ismun wafi'lun waharfun. Fal ismu maa anbaa 'anil musammaa, wal fi'lu maa anbaa a'an harakatil musammaa, wal harfu maa anbaa 'an ma'nan laisa bi ismin walaa fi'lin".

Artinya : "Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim, fi'il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori isim dan fi'il'.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad mendengar seorang membaca ayat al-Qur'an: "Inna AIlaaha bariiun minal mu'miniina warasuulihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasuulihi, padahal seharusnya didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang dasar-dasar kaidah bahasa Arab. Ibnu Salam dalam kitabnya Thabaqaatu Fuhuulisy Syu'araa mengatakan "Bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm." Berbagai riwayat dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli dalam rangka men-dukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu.

Namun demikian, diantara riwayat-riwayat itu masih banyak yang diperdebatkan keabsahannya. Satu riwayat yang cukup populer dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf al-Qur'an. Sebagaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/.

Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab. Lama-kelamaan, karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemu-kan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan al-Qur'an. Tanda baca itu adalah titik di atas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab).

Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad sebagai peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa di sana banyak sekali pendapat yang menguatkan keabsahan-nya sebagai pioner Ilmu Nahwu (wâdhi`-u `Ilm al-Nahw-i) itu sendiri, seperti disinggung dengan bagus oleh Ahmad Amin, bahwa Ibn Qutaybah dalam kitab al-Ma’ârif mengafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang: “Yang pertama kali meletakkan dasar pondasi Nahwu”, Ibn Hajar pun dalam kitab Fî al-Ishâbah mengutarakan hal yang senada: “Orang yang pertama kali memberikan “titik” di mushaf dan meletakkan pondasi Nahwu adalah Abu al-Aswad. Inovasi yang digagas oleh Abu al-Aswad ini, lambat-laun, kemudian disambut hangat oleh para penduduk Arab dikala itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga melahirkan banyak generasi mahir di bidang ilmu Bahasa Arab.

Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu: Nashr ibn Ashim al-Laitsi (Wafat 89 H) dan Yahya ibn Ya’mur (Wafat 129 H) langsung sigap mengambil tongkat estafet gurunya dalam mempelopori perkembangan bahasa Arab dari masa ke masa. Selang beberapa tahun kemudian, setelah kematian murid-murid Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular yang karya agungnya menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu: Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Estafet Khalil ini melahirkan murid brilian, Sibawaih, dengan karya besarnya: “al-Kitâb”. [ Hakam elChudrie ].

BATASAN AURAT WANITA

KETENTUANNYA ASALKAN DAPAT MENUTUP AURATNYA DAN TIDAK BRUPA HAL YANG TARANSPARAN (TEMBUS PANDANG)

AURAT WANITA

DALAM ALQURAN :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..." (QS. an-Nûr: 31).

DALAM AL-HADITS :

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”

Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:

“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”

Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.”

و منها : المرأة في العورة لها أحوال : حالة مع الزوج : و لا عورة بينهما و في الفرج وجه و حالة مع الأجانب : و عورتها كل البدن حتى الوجه و الكفين في الأصح و حالة مع المحارم و النساء : و عورتها ما بين السرة و الركبة و حالة في الصلاة :

و عورتها كل البدن إلا الوجه و الكفين و صرح الإمام في النهاية : بأن الذي يجب ستره منها في الخلوة هي العورة الصغرى و هو المستور من عورة الرجل

1. Bersama suami : Tiada batasan aurat baginya saat bersama suami, semua bebas terbuka kecuali bagian FARJI (alat kelamin wanita) yang terjadi perbedaan pendapat di antara Ulama

2. Bersama lelaki lain : Menurut pendapat yang paling shahih seluruh tubuhnya hingga wajah dan kedua telapak tangannya, menurut pendapat yang lain wajah dan telapaknya boleh terbuka

3. Bersama lelaki mahramnya dan sesama wanita : Auratnya diantara pusar dan lutut

4. Di dalam sholat : Seluruh tubuh menjadi auratnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya

5. Saat sendiri : Menurut Imam Romli dalam Kitab Nihaayah al-Muhtaaj aurat wanita saat sendiri adalah 'aurat kecil' yaitu aurat yang wajib ditutup oleh seorang lelaki (antara pusar dan lutut). [ Asybaah wa An-Nadhooir I/410 ]. Wallaahu A'lamu Bis Showaab.

BATASAN AURAT WANITA

KETENTUANNYA ASALKAN DAPAT MENUTUP AURATNYA DAN TIDAK BRUPA HAL YANG TARANSPARAN (TEMBUS PANDANG)

AURAT WANITA

DALAM ALQURAN :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..." (QS. an-Nûr: 31).

DALAM AL-HADITS :

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”

Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:

“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”

Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.”

و منها : المرأة في العورة لها أحوال : حالة مع الزوج : و لا عورة بينهما و في الفرج وجه و حالة مع الأجانب : و عورتها كل البدن حتى الوجه و الكفين في الأصح و حالة مع المحارم و النساء : و عورتها ما بين السرة و الركبة و حالة في الصلاة :

و عورتها كل البدن إلا الوجه و الكفين و صرح الإمام في النهاية : بأن الذي يجب ستره منها في الخلوة هي العورة الصغرى و هو المستور من عورة الرجل

1. Bersama suami : Tiada batasan aurat baginya saat bersama suami, semua bebas terbuka kecuali bagian FARJI (alat kelamin wanita) yang terjadi perbedaan pendapat di antara Ulama

2. Bersama lelaki lain : Menurut pendapat yang paling shahih seluruh tubuhnya hingga wajah dan kedua telapak tangannya, menurut pendapat yang lain wajah dan telapaknya boleh terbuka

3. Bersama lelaki mahramnya dan sesama wanita : Auratnya diantara pusar dan lutut

4. Di dalam sholat : Seluruh tubuh menjadi auratnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya

5. Saat sendiri : Menurut Imam Romli dalam Kitab Nihaayah al-Muhtaaj aurat wanita saat sendiri adalah 'aurat kecil' yaitu aurat yang wajib ditutup oleh seorang lelaki (antara pusar dan lutut). [ Asybaah wa An-Nadhooir I/410 ]. Wallaahu A'lamu Bis Showaab.

DEFINISI JILBAB

Jilbab itu menurut Tafsir al Qurtubi dalam menafsiri ayat ke-59 dari surat al Ahzab, adalah : Selembar pakaian yang lebih besar daripada kerudung. Menurut riwayat Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud, jilbab itu adalah selendang. Ada yang mengatakan bahwa jilbab itu adalah cadar yang dipakai untuk menutupi muka wanita. Yang benar, jilbab itu adalah pakaian yang dipakai untuk menutupi seluruh badan wanita. Dengan demikian, maka masalah memakai jilbab adalah sama dengan masalah menutup aurat bagi wanita. Dalam hal menutup aurat bagi wanita ini menurut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, disebutkan dalam kitab al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu karangan Dr. Wahbah az Zuhaili (terbitan Darul Fikr) juz 1 halaman 584-594 sebagai berikut :

1- مَذْهَبُ الحَنَفِيَّةِ: ج- المَرْأَةُ الحُرَّةُ وَمِثْلُهَا الخُنْثَى: جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى شَعْرِهَا النَّازِلِ فِى الأصَحِّ, مَاعَدَا الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَالقَدَمَيْنِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا عَلَى المُعْتَمَدِ لِعُمُومِ الضَرُورَةِ.

2- المَذْهَبُ المَالِكِيَّةِ. والعَورَةُ بِالنِّسْبَةِ لِلرُّؤْيَةِ: للرَّجُلِ مَابَيْنَ السُرَّةِ وَالرُّكْبَةِ, وَلِلْمَرْأَةِ أمَامَ رَجُلٍ أجْنَبِيٍّ جَمِيْعُ بَدَنِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالكَفَّيْنِ, وَاَمَامَ مَحَارِمِهَا جَمِيعٌ جَسَدِهَا غَيْرَ الوَجْهِ وَالأطْرَافِ: وَهِيَ الرّأسُ وَالعُنُقُ وَاليَدَانِ وَالرِّجْلاَنِ, إلاَّ انْ يُخْشَ لَذَّةٌ, فَيَحْرُمُ ذَلِكَ, لاَ لِكَوْنِهِ عَوْرَةُ. وَالمَرْأَةُ مَعَ المَرْأةِ أو مَعَ ذَوِى المَحَارِمِهَا كَالرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ, تُرَى مَاعَدَا مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَأمَامَ المَرْأَةُ فِى النَّظْرِ إلَى الأَجْنَبِيِّ فَهِيَ كَحُكْمِ الرَّجُلِ مَعَ ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ وَهُوَ النَّظْرُ إلَى الوَجْهِ وَالأطْرَافِ (الرَّأسِ وَاليَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ).

3- مَذْ هَبُ الَشَّافِعِيَّةِ ج-عَوْرَةُ الحُرَّةِ وَمِثْلُهَا الخُنْثَى: مَاسِوَى الوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ, ظَهْرِهِمَاوَبَطْنِهِمَا مِنْ رُؤُوْسِ الاَصَابِعِ الَى الْكُعَيْنِ (الَرَّسْغُ اَوْ مَفْصِِلُ الزَّنْدِ) لِقَوْلِهِ تَعَلَى: وَلاَيُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَاظَهَرَ مِنْهَا. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ: هُوَ الوَجْهُ وَالْكَفَّانِ. وَلاَنَّ الَنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَرْأَةَ الْحَرَامَ (الْمُحَرَّمَةَ بِحَجِّ اَوْعُمْرَةٍ) عَنْ لُبْسٍ الْقُفَّزَيْنِ وَالَّنقَابِ, وَلَوْكَانَ الَوجْهُ عَوْرَةً لَمَّاحُرِّمَاسَتْرُهُمَا فِى الاِحْرَامِ, وَلاَّنَ الْحَاجَةتَدْعُوْ اِلَى اِبْرَازِ الْوَجْهِ لِلْبَيْعِ وَالشَّرَاءِ, وَاِلَى اِبْرِازِ الْكَفِّ لِلاَ خْذِ وَالْعَطَاءِ, فَلَمْ يُجْعَلْ ذَالِكَ عَوْرَةً.

4-مَذْهَبُ اْلحَنَابِلَةِ وَعَوْرَةُ الْمَرْأَةِ مَعَ مَحَارِمِهَاالرَِّّجَالِ: هِيَ جَمِيْعُ بَدَنِهَامَاعَدَ الوَجْهِ وَالَّر قْبَةِ وَالْيَدَيْنِ وَالْقَدَمِ وَالسَّاقِ. وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْمَرْأَةِ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ خَارِجَاالصَّلاَةِ عَوْرَةٌ كَمَا قَالَ الشّضافِعِيَّةُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّابِقِ: الَْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ. وَيُبَاحُ كَشْفُ الْعَوْرَةِ لِنَحْوِ تَدَاوٍ وَتَحِلُّ فِى الْخَلاَءِ, وَخِتَانٍ, وَمَعْرِفَةِ الْبُلُوْغِ, وَبِكَارَةٍ وَثَيُوْبَةٍ, وَعَيْبٍ. وَعَوْرَةٌ المُسْلِمَةِ اَمَامَ الكَافِرَةِ: عَوْرَةُ الْمُسْلِمَةِ اَمَامَ الْكَافِرَةِ عِنْدَ الْحَنَابَلَةِ كَاالرَّجُلِ الْمُحْرِمِ: مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالُّركْبَةِ. وَقَالَ الْجُمْهُوْرُ: جَمِيْعُ الْبَدَنِ مَاعَدَامَاظَهَرَ عِنْدَ الْمِهْنَةِ اَيِ الاَسْغَالِ الْمَنْزِلِيَّةِ.

Madzhab Hanafi : Wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci, auratnya adalah seluruh badanya sampai rambutnya turun, menurut pendapat yang paling kuat, selain dan tapak dua tangan, kedua kaki bagian dalam dan bagian luar menurut pendapat yang dapat di jadikan pegangan, karena keumuman dari keperluan yang mendesak.

Madzhab Maliki : Aurat dipandang dari segi melihatnya: bagi laki-laki adalah apa yang ada diantara pusat dan lutut. Dan bagi wanita dihadapan orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan. Dan di hadapan muhrimnya (laki-laki) adalah seluruh jasadnya selain muka dan anggauta –anggauta: kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki, kecuali jika di takutkan rasa lezat, maka hal tersebut haram, bukan karena keadaanya sebagai aurat. Dan wanita dengan wanita atau yang mempunyai hubungan muhrim adalah laki-laki, yaitu dapat dilihat apa yang ada dipusat dan lutut. Adapun wanita wanita dalam memendang ke laki-laki lain adalah seperti hukumnya lain adalah seperti hukumnya laki-laki beserta para wanita yang menjadi muhrimnya, yaitu memandang kepada anggauta-anggauta: kepala, kedua tangan dan kedua kaki.

Madzhab Syafii : Aurat wanita merdeka dan yang sepertinya adalah orang banci adalah: apa yang selain muka dan kedua telapak tangan, bagian luar dan dalam dari kedua ujung-ujung jari dan dari dua pergelangan tangan (ruas atau tempat pergelangan tangan) , berdasarkan firman Allah : Janganlah para wanita menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak dari padanya. Ibnu Abbas dan Aisyah ra. berkata: Yaitu muka dan kedua tapak tangan. Dan Nabi saw. Telah melarang wanita yang ihram untuk haji atau umroh untuk memakai dua sarung tangan dan kain tutup maka (cadar). Andaikata tapak tangan dan muka itu adalah aurat, niscaya tidak diharamkan menutup keduanya dalam ihram, dan karena hajat mengundang kepada penampakan muka untuk jual beli dan penampakan tpak tangan untuk mengambil dan memberi, maka hal itu tidak di jadikan aurat.

Madzhab Hambali : Aurat wanita beserta para muhrimnya laki-laki adalah selain badanya selain muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis. Semua badan wanita sampai muka dan kedua tapak tangan diluar salat adalah aurat, sebagaimana kata Asy Syafii berdasarkan sabda Nabi saw. yang telah lalu wanita adalah aurat. Dan diperbolehkan membuka aurat karena keperluan seperti, berobat, berhajat di tempat yang sunyi, khitan, mengetahui masa baligh, perawan dan tidaknya wanita dan cacat. Aurat wanita muslim dihadapan wanita kafir, menurut madzhab Hambali adalah seperti di hadapan laki-laki mahram, yaitu anggota badan yang ada diantara pusat dan lutut. Jumhur (sebagian besar ulama) berpendapat bahwa seluruh badan wanita itu adalah aurat, kecuali apa yang nampak pada waktu melakukan kesibukan-kesibukan rumah.

Di atas sudah dicantumkan menurut Tafsir al Qurtubi dalam menafsiri ayat ke-59 dari surat al Ahzab

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَ‌ٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩﴾

(59) Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.

KAMUS ISTILAH DALAM EKONOMI DAN ARTINYA

E K O N O M I

NAMA – NAMA PERKIRAAN ( AKUN )
DAN ISTILAH DALAM BAHASA INGGRIS

Account Title Artinya
Assets Harta
Current Assets Harta Lancar
Cash In Bank Kas di Bank
Petty Cash Kas Kecil
Account Receivable Piutang Dagang
Allowance For Doubtful Debt Penyisihan Kerugian Piutang
Furniture And Fixture Perabot & Inventaris
Interest Receivable Piutang Bunga
Notes Receivable Piutang Wesel
Merchandise Inventory Persediaan Barang Dagangan
Marketable Securities Surat-Surat Berharga
Supplies Perlengkapan
Store Supplies Perlengkapan Toko
Office Supplies Perlengkapan Kantor
Prepaid Advertising Iklan Dibayar Dimuka
Prepaid Expense Biaya Dibayar Dimuka
Prepaid Insurance Ansuransi Dibayar Dimuka
Prepaid Rent Sewa Dibayar Dimuka
Long Term Investment Investasi Jangka Panjang
Investment In Bond Investasi Dalam Obligasi
Investment In Common Stock Investasi Dalam Saham
Temporary Investment Investasi Jangka Pendek

Fixed Assets Harta Tetap
Equipment Peralatan
Acumulated depreciation of equipment Akumulasi Penyusutan Peralatan
Store Equipment Peralatan Toko
Acumulated depreciation of store equipment Akumulasi Penyusutan Peralatan Toko
Office Equipment Peralatan Kantor
Acumulated depreciation of office equipment Akumulasi Penyusutan Peralatan Kantor
Building Gedung
Acumulated depreciation of building Akumulasi Penyusutan Gedung
Land Tanah
Acumulated depreciation of land Akumulasi Penyusutan Tanah
Machine Mesin
Acumulated depreciation of machine Akumulasi Penyusutan Mesin
Motor Vehicle Kendaraan
Acumulated depreciation of motor vehicle Akumulasi Penyusutan Kendaraan
Vat In PPN Masukan

Intangible Fixed Assets Harta Tidak Berwujud
Goodwill Nama Baik
Franchise Hak Istimewa
Leasing Hak Sewa

Liabilities Kewajiban
Account Payable Hutang Dagang
Bank Payable / Loan From Bank Hutang Bank
Bond Payable Hutang Obligasi
Interest Payable Hutang Bunga
Mortgage Payable Hutang Hipotek
Notes Payable Hutang Wesel
Salaries Payable Hutang Gaji
Tax Payable Hutang Pajak
Accrued Expense Hutang Biaya
Unearned Rent Sewa Diterima Dimuka
Unearned Revenue Pendapatan Diterima Dimuka
Vat Out PPN Keluaran

Equity
Modal
Paid Up Capital Setoran Modal
Prive Pengambilan Pribadi
Drawing Pengambilan Pribadi
Devidend Pengambilan Saham
Income Summary Ikhtisar Laba Rugi
Common Stock Saham
Preferred Stock Saham Preferen / Istimewa
Retained Earning Laba Di Tahan

Revenue Pendapatan
Sales Penjualan
Sales Return Pengembalian Penjualan
Sales Discount Potongan Penjualan
Commosion Income Pendapatan Dari Komisi
Consignment Income Pendapatan Dari Konsinyasi
Fare Income Pendapatan Dari Angkutan
Fees Earned Honor
Income From Joint Venture Pendapatan Dari Usaha Petungan
Interest Income Pendapatan Bunga
Other Income Pendapatan Lain-Lain
Recovery Income Pendapatan Diterima Kembali
Rent Income Pendapatan Sewa
Purchase Pembelian
Purchase Return Pengembalian Pembelian
Purchase Discount Potongan Pembelian
Cost Of Goods Sold Harga Pokok Penjualan

Expense Biaya
Advertising Expense Biaya Iklan
Telephone & Electeicity Expense Biaya Telepon dan Listrik
Store Supplies Expense Biaya Perlengkapan Toko
Bad Debt Expense Biaya Kerugian Piutang
Depreciation Expense Biaya Penyusutan Harta
Insurance Expense Biaya Asuransi
Rent Expense Biaya Sewa
Wages & Salaries Expense Biaya Upah dan gaji
Other Operating Expense Biaya Operasi Lainnya
Office Salaries Expense Biaya Gaji Kantor
Store Salaries Expense Biaya Gaji Toko
Salesmen Salaries Expense Biaya Gaji Bagian Penjualan
Supplies Expense Biaya Perlengkapan Toko
Office Supplies Expense Biaya Perlengkapan Kantor
Administrative Expense Biaya Administrasi
Interest Expense Biaya Bunga
Miscellanious Expense Biaya Rupa-Rupa
Motor Vehicle Expense Biaya Kendaraan
Utilities Expense Biaya Prasarana
Bank Service Charge Biaya Administrasi Bank
Income Tax Expense Biaya Pajak Penghasilan
Depreciation Expense Of Building Biaya Penyusutan Gedung
Depreciation Expense Of Equipment Biaya penyusutan Peralatan
Depreciation Expense Of Furniture And Fixture Biaya Penyusutan Perabot/Inventaris
Depreciation Expense Of Machine Biaya Penyusutan Mesin
Depreciation Expense Of Motor Vehicle Biaya Penyusutan Kendaraan
Depreciation Expense Of Office Equipment Biaya Penyusutan Peralatan Kantor
Depreciation Expense Of Store Equipment Biaya Penyusutan Peralatan Toko
Freight In Ongkos Angkut Pembelian
Freight Out Ongkos Angkut Penjualan













IMAN DAN AMAL SHOLIH BELUM TENTU MENJAMIN KITA AKAN MASUK SYURGA



لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا

“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian.” Mereka bertanya: “Tidak pula anda wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai.” (Hr Bukhari).

لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ

Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah swt.

Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah swt berikut : “Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu amalkan”. (QS. An-Nahl [16] : 32). Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7] : 43. Ayat semisal terdapat juga dalam QS. Az-Zukhruf [43] : 72).

Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut. Semuanya menempuh metode jam’ (menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan al-Qur`an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi saw menentang al-Qur`an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

Imam Ibn Bathal, sebagaimana dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya berdasarkan rahmat Allah swt. Jadi, dengan rahmat Allah swt, seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya. Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan masuk surga tingkatan yang mananya itu ditentukan berdasarkan amal.

Selanjutnya, Ibn Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan. Artinya, masuk surga itu tergantung rahmat Allah swt juga amal-amal kita. Demikian juga, penentuan tingkatan yang mananya di dalam surga itu tergantung rahmat Allah swt dan amal-amal kita.

Imam al-Karmani, Jamaluddin ibn as-Syaikh, dan Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf ‘ba’ pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah swt. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah swt saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah swt.

Imam Ibn Hajar memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Nah, persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah swt, dan ini mutlak berdasarkan rahmat Allah swt (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).

Kamis, 09 Oktober 2014

Belahan Jiwa


Pandanglah wajah istrimu yang tercinta
Bayangkanlah penat lelah yang dirasakan
Namun tak pernah istrimu berkeluh kesah
Mengabdikan jiwa raganya kepadamu

Jangan kau siakan pengorbanannya
Jangan kau sakiti permaisurimu
Jangan biarkan dia bersedih
Menitikkan air mata

reff:
Sebelum detak jantung istrimu berhenti
Kasihi Istrimu dengan sepenuh hati
Sebelum istrimu kembali pada Tuhan
Sayangi istrimu janganlah kau sakiti
Bahgiakan bidadarimu
Belailah permaisurimu

back to reff

Istriku sayang belahan jiwaku
Janganlah engkau bersedih hati
Istriku sayang permaisuriku
Bidadariku dunia akhirat

Lyric lagu Wanita Syurga Bidadari Dunia

Lirik Lagu Wanita Syurga Bidadari Dunia.


Keanggunan yang terpancar darimu muslimah
Ketegasan jiwamu perisai nan indah
Kau hadirkan pesona
Malu berbalut takwa
Laksana syurga di dunia

c/o
Keteguhan hatimu oh wanita muslimah
Keketunan dirimu yang terbingkai solehah
Perhiasan dunia tunduk pada Yang Kuasa
Sejukmu menenangkan jiwa..

Engkau wanita syurga bidadari dunia
Kehormatan kau jaga dengan penuh cinta

Engkau wanita syurga permata berharga
Bernilai indah dalam kesucian jiwa...



Allahu Akbar..
liriknya sungguh menyentuh Qolbu.
Melihat kepada video klipnya mampu meruntun jiwa jika dihayati dengan sepenuhnya..
Mampukah calon kita semua menjadi wanita syurga di mana di dunia ini menjadi bidadari..

Allahu Akbar...
Perjalanan seorang wanita penuh berliku2

Mudah bagi perempuan untuk masuk syurga

Bagi isteri hanya 4 syarat untuk mereka ke syurga
“Apabila seorang isteri mengerjakan solat 5 waktu, mengerjakan puasa sebulan, memelihara kehormatannya (aurat) serta mentaati suaminya, nescaya dia akan masuk syurga”. (Riwayat Imam Bazzar melalui Anas r.a)

Daripada Anas, Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Apabila seorang perempuan mendirikan sembahyang lima waktu, berpuasa sebulan (Ramadhan), menjaga kehormatan dan taat kepada suami, dia akan disuruh memasuki syurga melalui mana-mana pintu yang dia sukai.” (Hadis Riwayat Ahmad)

Namun perempuan lebih ramai di neraka...

Dari Abdullah bin Umar r.a katanya: Rasulullah s.a.w telah bersabda:

“Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar yaitu memohon ampun. Kerana aku melihat kaum wanitalah yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka.”

Seorang wanita yang cukup pintar di antara mereka bertanya:
“Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum wanita yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka?”

Rasulullah S.A.W bersabda:
“Kamu banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat mereka yang kekurangan akal dan agama yang lebih menguasai pemilik akal, daripada golongan kamu.

Wanita itu bertanya lagi:
“Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?

“Rasulullah s.a.w bersabda:
“Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang wanita sama dengan penyaksian seorang lelaki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga wanita tidak mendirikan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadhan kerana haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama”

Allahu Allahu Allahu...
Di manakan kita akan diletakkan nanti?

Ya Allah...
bantulah kami untuk membimbing pendamping kami menjadi seorang isteri yang solehah...
Bakal menghiasi syurgaMu..
Amin!

DO'A SANG PENGANTIN

~~ DOA CINTA SANG PENGANTIN ~~

Ya allah ...
Ridhoilah cinta kami berdua,selayak rasulullah dan khadijah
jangan biarkan diriku sekedar ingin berkuasa atas dirinya
karena aku tau agamaku hanya akan sempurna bersamanya

Atas nama kenangan dihari lalu,cinta dihari ini
dan mimpi dihari esok,jika saja ku harus memilih
antara bernafas atau mencintaimu
kuakan menggunakan nafas terakhirQ untuk mencintaimu

Ya allah ...
Sempurnakanlah kebahagiaan kami
dengan menjadikan pernikahan ini sbg ibadah kepadaMU
dan bakti kepengikutan dan cinta kami kepada sunnah rasulmu

Amiin

❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤

Ya Allah..
Andai Kau berkenan, limpahkanlah kami cinta
Yang Kau jadikan pengikat rindu Rasulullah & Khadijah Al Qubro
Yang Kau jadikan mata air kasih sayang Ali & Fatimah Az-Zahra
Yang Kau jadikan perhiasan nabi-Mu yang suci

Ya Allah…
Andai semua itu tidak layak bagi kami, maka cukuplah permohonan kami dengan Ridho-Mu. Jadikan kami sebagai suami istri yang saling mencintai dikala dekat, saling menjaga kehormatan dikala jauh, saling menghibur dikala duka, saling mengingatkan dikala bahagia, saling mendoa’akan dikala kebaikan & ketakutan, saling menyempurnakan dikala peribadatan.

Ya Allah…
Sempurnakanlah kebahagiaan kami dengan menjadikan perkawinan ini sebagai ibadah kepada-Mu, dan bukti kepengikutan dan cinta kami kepada sunnah keluarga Rasul-Mu.Jadikan cinta kami membawa kami dalam bahagia baik didunia maupun di akhirat,lahir batin dalam Ridho_MU .

Amin

( noeryalez.blogspot.com)

❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤

Ya Allah… Aku berdoa untuk seseorang yang menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintai – Mu lebih dari segala sesuatu
Seseorang yang akan meletakkanku
Pada posisi kedua hatinya setelah Engkau
Seseorang yang hidup bukan untuk dirinya sendiri
Tetapi untuk – Mu
Seseorang yang mencintai bukan karena wajahku
Tapi karena hatiku
Seseorang yang dapat menjadi sahabat terbaikku
Dalam setiap waktu dan situasi
Ya Rahman… Aku tidak meminta seorang yang sempurna
Namun aku minta seorang yang tidak sempurna
Sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mata – Mu
Seseorang yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seseorang yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kepedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku
Untuk membuat hidupnya menjadi sempurna
Ya Rahim.. Aku juga meminta
Buatlah aku menjadi seseorang yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintai – Mu
Sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku
Betapa Maha Besarnya Engkau telah memberikan kepadaku
Pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna
( www.wikimu.com)
❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤❤ ❤
Ya Allah…
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan cinta hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru [di jalan]-Mu, dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu maka kuatkanlah ikatan pertaliannya.
Ya Allah…
Abadikan kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup, lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu, hidupkanlah dengan ma’rifat-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Dan semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada Muhammad SAW, kepada keluarganya dan kepada semua sahabatnya.
Ya Allah…
Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang lebih Engkau anugerahi kenikmatan, bukan-nya jalan orang-orang yang Engkau timpai kemurkaan, bukan pula jalan orang-orang yang Engkau tenggelam dalam kesesatan. Sinarilah hati kami dengan cahaya petunjuk-Mu.
Terangilah jalan kami dengan sinar taufik-Mu. Kalau Engkau berkenan menganugerahkan nikmat-Mu atas kami, bantulah kami untuk banyak berdzikir dan bersyukur atas nikmat-Mu itu. Hindari kami dari orang-orang yang terlena dalam kemewahan dunia. Lembutkan hati kami untuk merasakan curahan rahmat-Mu.
Ya Allah…
Indahkanlah rumah kami dengan kalimat-kalimat-Mu yang suci. Suburkanlah kami dengan keturunan yang membesarkan asma-Mu. Penuhi kami dengan amal shaleh yang Engkau ridhai. Jadikan mereka Yaa…Allah teladan yang baik bagi manusia.
Ya Allah…
Damaikanlah pertengkaran di antara kami, pertautkan hati kami, dan tunjukkan kepada kami jalan-jalan keselamatan. Selamatkan kami dari kegelapan kepada cahaya. Jauhkan kami dari kejelekan yang tampak dan tersembunyi.
Ya Allah…
Berkatilah pendengaran kami, penglihatan kami, hati kami, suami/isteri kami, keturunan kami dan ampunilah kami.
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Amiin…

Penguasa Hatiku - Ungu


KETENTUAN DIPERBOLEHKANNYA POLIGAMI

Syarat seorang suami boleh menjalani poligami adalah harus adil dan mampu memberikah nafkah hidup, diluar ketentuan itu tidak terdapati persyaratan lain (termasuk harus minta izin pada istri) namun orang berakal adalah mereka yang mampu menguasai hal sebelum tertimpa masalah, karenanya BERFIKIRLAH sebelum bertindak...!!

قيود إباحة التعدد :اشترطت الشريعة لإباحة التعدد شرطين جوهريين هما:1 - توفير العدل بين الزوجات: أي العدل الذي يستطيعه الإنسان، ويقدر عليه، وهو التسوية بين الزوجات في النواحي المادية من نفقة وحسن معاشرة ومبيت، لقوله تعالى: {فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة، أو ما ملكت أيمانكم، ذلك أدنى ألا تعولوا} [النساء:3/4] فإنه تعالى أمر بالاقتصار على واحدة إذا خاف الإنسان الجور ومجافاة العدل بين الزوجات.وليس المراد بالعدل ـ كما بان في أحكام الزواج الصحيح ـ هو التسوية في العاطفة والمحبة والميل القلبي، فهوغير مراد؛ لأنه غير مستطاع ولا مقدور لأحد، والشرع إنما يكلف بما هو مقدور للإنسان، فلا تكليف بالأمور الجبلِّية الفطرية التي لا تخضع للإرادة مثل الحب والبغض.ولكن خشية سيطرة الحب على القلب أمر متوقع ،لذا حذر منه الشرع في الآية الكريمة: {ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء، ولو حرصتم، فلا تميلوا كل الميل، فتذروها كالمعلقة} [النساء:129/4] وهو كله لتأكيد شرط العدل، وعدم الوقوع في جور النساء، بترك الواحدة كالمعلقة، فلا هي زوجة تتمتع بحقوق الزوجية، ولا هي مطلقة. والعاقل: من قدَّر الأمور قبل وقوعها، وحسب للاحتمالات والظروف حسابها، والآية تنبيه على خطر البواعث والعواطف الداخلية، وليست كما زعم بعضهم لتقرير أن العدل غير مستطاع، فلا يجوز التعدد، لاستحالة تحقق شرط إباحته.2 - القدرة على الإنفاق: لا يحل شرعاً الإقدام على الزواج، سواء من واحدة أو من أكثر إلا بتوافر القدرة على مؤن الزواج وتكاليفه، والاستمرار في أداء النفقة الواجبة للزوجة على الزوج، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج...» والباءة: مؤنة النكاح.

KETENTUAN YANG MEMBOLEHKAN SUAMI BERPOLIGAMI.

Syariat memperkenan suami berpoligami bila memenuhi dua ketentuan :

1. Bisa memberikan rasa ADIL diantara istri-istrinya.

Dalam artian kemampuan berbuat adil dalam hal-hal yang bersifat kebendaan seperti memberi nafkah, dapat bergaul dengan mereka secara baik serta menggiliri mereka dengan sama rata, Allah Ta’ala berfirman :

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. 4:3)

Dalam ayat ini diterangkan, Allah memerintahkan untuk mencukupi satu istri saja bila seseorang khawatir tidak mampu berbuat adil diantara para istrinya.

Dan bukan yang dimaksud adil disini adalah sama dalam hal membagi perasan, kasih sayang, cinta dan kecenderungan hati, bukan...!! Karena yang demikian tentunya tidak akan mampu dilakukan oleh seorangpun sedang syariat tidak akan menerapkan hukum diluar batas yang dimampui oleh seseorang maka ia tidak dituntut untuk menjalani hal-hal yang diluar fitrah kemampuan untuk tunduk pada keinginan seperti cinta dan benci hanya saja kekhawatiran terbelenggu oleh cinta (pada seorang diantara istri-istri lainnya) dapat menjadi kenyataan sehingga menjadikan istri bagai tergantung, tiada terpenuhi hak-haknya dan ia juga tiada tertalak dari cengkeraman kuasa suami.

Allah berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS. 4:129)

Ayat ini sebagai penegasan tentang ketentuan legalnya berpoligami agar karenanya tidak menjadikan mendzalimi kaum wanita sehingga membuat nasibnya terkatung-katung dan orang berakal adalah mereka yang mampu menguasai hal sebelum tertimpa masalah karenanya.

2. Mampu memberikan NAFKAH pada istri-istrinya.

Syariat tidak menghalalkan seseorang memasuki ranah pernikahan baik menikah hanya seorang istri atau lebih kecuali ia berkemampuan memenuhi biaya dan tuntutan-tuntutan dalam sebuah rumah tangga, mampu memenuhi hak-hak yang semestinya didapatkan seorang istri atas suaminya berdasarkan sabda nabi :“Wahai kawula muda, barangsiapa yang mampu dari kalian atas biaya maka menikahlah” yang dimaksud biaya adalah biaya yang dibutuhkan dalam pernikahan dan rumah tangga. [ Al-Fiqh al-Islaam IX/160 ]. Wallaahu A'lamu Bis Showaab

HUKUM MEMBAYAR ZAKAT FITRAH DENGAN UANG

Membayar zakat fitrah dengan uang, menurut Syafi’iyyah tidak diperbolehkan, sedangkan menurut Hanafiyyah diperbolehkan.

Catatan Penting : Berpijak pada pendapat yang memperbolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang (yakni hanya Hanafiyah) maka menurut kalangan ini, mengenai kadar uang yang dikeluarkan adalah disesuaikan nilai / harga bahan-bahan makanan yang manshush (disebutkan secara eksplisit dalam hadis) sebagai zakat fitrah, yakni :

1 sho’ tamr / kurma, atau

1 sho’ gandum sya’ir, atau

½ sho’ zabib / anggur, atau

½ sho’ gandum burr

Yang kesemuanya mengacu pada nilai harga saat mulai terkena beban kewajiban (waqtul wujub).

Referensi :

·Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab VI/113

·Tarsyih al-Mustafîdîn, 154

·Al-Mughni li Ibn Qudâmah II/357

·Radd al-Mukhtâr II/286

·Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah XX/243

·Al-Inâyah Syarh al-Hidâyah III/245

·Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh II/909

-------------------------------------------
Kenapa dalam madzhab Syafi'i tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat dengan qimah ? Berikut jawaban dan paparan Imam Ghazali dalam kitab Ihya juz I halaman 213 dalam fasal :

في الأداء وشروطه الباطنة والظاهرة

والقسم الثالث: هو المركب الذي يقصد منه الأمران جميعاً وهو حظ العباد وامتحان المكلف بالاستعباد، فيجتمع فيه تعبد رمي الجمار وحظ رد الحقوق فهذا قسم في نفسه معقول، فإن ورد الشرع به وجب الجمع بين المعنيين

ولا ينبغي أن ينسى أدق المعنيين وهو التعبد والاسترقاق بسبب أجلاهما، ولعل الأدق هو الأهم والزكاة من هذا القبيل

ولم ينتبه له غير الشافعي رضي الله عنه فحظ الفقير مقصود في سد الخلة وهو جلي سابق إلى الأفهام وحق التعبد في اتباع التفاصيل مقصود للشرع. وباعتباره صارت الزكاة قرينة للصلاة والحج في كونها من مباني الإسلام.

ولاشك في أن على المكلف تعباً في تمييز أجناس ماله وإخراج حصة كل مال من نوعه وجنسه وصفته. ثم توزيعه على الأصناف الثمانية كما سيأتي.

والتساهل فيه غير قادح في حظ الفقير لكنه قادح في التعبد

Sumber : http://ar.wikisource.org/wiki/إحياء_علوم_الدين/كتاب_أسرار_الزكاة/الفصل_الثاني

---------------------------------------------------------------------------------------------
ZAKAT FITRAH DENGAN UANG SERTA UKURAN SHO’

Tiga madzhab sependapat bahwa tidak boleh zakat fitrah dengan uang. Madzhab hanafi memperbolehkan zakat fitrah dengan uang, namun harus seharga satu sho gandum, kurma, atau anggur kering (jenis-jenis fitrah yang tertera dalam hadits, bukan seharga satu sho’ makanan pokok). Ada pendapat dari kalangan Malikiyah yang memperbolehkan zakat fitrah dengan uang (seharga satu sho’ makanan pokok) namun makruh.

(الثالث) من الامور الخمس (ان لا يخرج بدلا) فى الزكاة (باعتبار القيمة) الوارد فى الحديث (المنصوص عليه) فلا يجزئ ورق) اي فضة بدلا (عن ذهب)اذا وجبت فيه (ولا ذهبا) بدلا (عن ورق) اذا وجبت فيه (وان زاد عليه فى القيمة) كما فى الهدايا والضحايا لان الشرع اوجب علينا والواجب ما لا يسع تركه ومتى ساغ غيره وسعه تركه فلا يكون واجبا وبه قال مالك واحمد وفال اصحابنا يجوز دفع القيمة فى الزكاة والكفارة وصدقة الفطر والعشر والخراج والنذر لان الامر بالاداء الى الفقير ايجاب للرزق الموعود فصار كالجزية بخلاف الهدايا والضحايا فإن المستحق فيه إراقة الدم وهى لا تعقل ووجه القربة فى المتنازع فيه سد خلة المحتاج وهو معقول اهـ، اتحاف السادات المتقين (الحنفية) ج 4 ص 94

***

)مسئلة) ان اخرج قيمة الصاع دراهم او ذهبا فانه يجزئ مع الكراهة كما قال الدردير في فصل مصرف الزكاة من اقرب المسالك الا العين عن حرث وماشية بالقيمة فتجزئ بكره وهذا شامل لزكاة الفطر اهـ وفي حاشية الصاوي في فصل زكاة الفطر نقلا عن تقرير الدردير انه ان اخرج قيمة الصاع عينا فالأظهر الإجزاء لأنه يسهل بالعين سد خلته في ذلك اليوم اهـ قرة العين بفتاوي علماء الحرمين (المالكية)/ 76

***

(أَوْ) دَفَعَ (جِنْسًا) مِمَّا فِيهِ الزَّكَاةُ (عَنْ غَيْرِهِ): مِمَّا فِيهِ زَكَاةٌ ; لَمْ تُجْزِئْهُ كَأَنْ دَفَعَ مَاشِيَةً عَنْ حَرْثٍ أَوْ عَكْسِهِ. وَمُرَادُهُ بِالْجِنْسِ: مَا يَشْمَلُ الصِّنْفَ ; فَلا يُجْزِئُ تَمْرٌ عَنْ زَبِيبٍ وَلا عَكْسُهُ. وَلا شَيْءٌ مِنْ الْقَطَّانِي عَنْ آخَرَ, وَلا زَيْتُ ذِي زَيْتٍ عَنْ آخَرَ, وَلا شَعِيرٌ عَنْ قَمْحٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ ذُرَةٍ أَوْ أُرْزٍ. (إلا الْعَيْنَ) ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً يُخْرِجُهَا (عَنْ حَرْثٍ وَمَاشِيَةٍ) بِالْقِيمَةِ (فَتُجْزِئُ بِكُرْهٍ) أَيْ مَعَ كَرَاهَةٍ وَهَذَا شَامِلٌ لِزَكَاةِ الْفِطْرِ اهـ الشرح الصغير على أقرب المسالك، 1/581

***

فَيَتَعَيَّنُ الإِخْرَاجُ مِمَّا غَلَبَ الاقْتِيَاتُ مِنْهُ مِنْ هَذِهِ الأَصْنَافِ التِّسْعَةِ, فَلا يُجْزِئُ الإِخْرَاجُ مِنْ غَيْرِهَا ولا منها إن قتيت غيره منها إلا أن يخرج الأحسن؛ كما لو غلب اقتيات الشعير فأخرج قمحاً اهـ، الشرح الصغير على أقرب المسالك (المالكية)، 1/672

***

قَوْلُهُ: [ فَلا يُجْزِئُ الإِخْرَاجُ مِنْ غَيْرِهَا ]: أَيْ إذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ الْغَيْرُ عَيْنًا، وَإِلا فَالأَظْهَرُ الإِجْزَاءُ لأَنَّهُ يَسْهُلُ بِالْعَيْنِ سَدُّ خَلَّتِهِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ اهـ، حاشية الصاوي على الشرح الصغير(المالكية)، 1/682

***

واتفق الائمة أنه لا يجوز إخراج القيمة في الفطرة في غير ما تقدم الا أبا حنيفة فقال يجوز بل هو أفضل في السعة، أما في الشدة فدفع العين أفضلز والتفقوا على أن الواجب صاع الا الحنفية فيجزئ عندهم من الزبيب نصف صاع، وكذلك البر ودقيقه وسويقه اهـ، فتح العلام بشرح مشيد الانام (الشافعية)، 3/302

***

( مسألة ) لا تجزئ القيمة في الفطرة عندنا . وبه قال مالك وأحمد وابن المنذر . وقال أبو حنيفة يجوز حكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وعمر بن عبد العزيز والثوري قال وقال إسحاق وأبو ثور لا تجزئ إلا عند الضرورة اهـ المجموع شرح المهذب (الشافعية) الجزء السادس ص: 113

***

( 1966 ) مسألة : قال : ( ومن أعطى القيمة لم تجزئه ) قال أبو داود قيل لأحمد وأنا أسمع أعطي دراهم يعني في صدقة الفطر قال أخاف أن لا يجزئه خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم . وقال أبو طالب , قال لي أحمد لا يعطي قيمته , قيل له : قوم يقولون , عمر بن عبد العزيز كان يأخذ بالقيمة , قال يدعون قول رسول الله صلى الله عليه وسلم ويقولون قال فلان , قال ابن عمر : فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم . وقال الله تعالى “أطيعوا الله وأطيعوا الرسول”. وقال قوم يردون السنن قال فلان قال فلان . وظاهر مذهبه أنه لا يجزئه إخراج القيمة في شيء من الزكوات . وبه قال مالك والشافعي وقال الثوري وأبو حنيفة يجوز . وقد روي ذلك عن عمر بن عبد العزيز والحسن وقد روي عن أحمد مثل قولهم فيما عدا الفطرة اهـ، المغني لابن قدامة (الحنابلة) الجزء الثاني ص: 357

Berikut ini ta’bir mengenai uang dalam madzahab maliki yang hukumnya sama dengan dirham, dinar, emas atau perak.

وَاعْلَمْ أَنَّ الْفُلُوسَ الْجُدُدَ هُنَا كَالْعَيْنِ فَلا يَجُوزُ سَلَمُ بَعْضِهَا فِي بَعْضٍ، حاشية الصاوي على الشرح الصغير(المالكية)، 3/261

***

قلت: ما قول مالك فيمن أسلم فلوساً في طعام؟ قال: لا بأس بذلك . قلت : ما قول مالك فيمن أسلم طعاماً في فلوس؟ قال: قال مالك: لا بأس بذلك. قلت : فإن أسلم دراهم في فلوس؟ قال: قال مالك: لا يصلح ذلك. قلت : وكذلك الدنانير إذا أسلمها في الفلوس؟ قال: نعم لا يصلح عند مالك. قلت : وكذلك لو باع فلوساً بدراهم إلى أجل وبدنانير إلى أجل لم يصلح ذلك؟ قال: نعم. قلت : لم؟ قال: لأن الفلوس عين ولأن هذا صرف اهـ، المدونة الكبرى(المالكية)، 9/19

Perlu diketahui, pada umumnya masyarakat menilai mud dan sho’ dengan ukuran berat jenis suatu barang. Hal ini kurang tepat mengingat bahwa ukuran mud dan sho’ itu adalah takaran. Yang benar ukuran mud dan sho’ itu adalah memakai volume.

~ satu mud versi Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik = 0,766 lt / kubus berukuran kurang lebih 9,2 cm.

~ satu sho’ versi imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik = 3,145 lt / kubus berukuran kurang lebih 14,65 cm.

Bila dikonversi ke dalam bentuk berat jenis, maka hasilnya bisa berbeda tergantung dari kadar air benda yang kita timbang. KH. Ma’shum bin Ali Jombang pernah menimbang beras dari takaran mud dan sho’ yang beliau miliki, dan diketahui bahwa;

~ satu mud mud beras putih = 679,79 gr.

~ satu sho’ beras putih = 2719,19 gr.

======================================== WALLAHU 'ALAM

ORANG-ORANG YANG TIDAK BERHAK MENERIMA WARISAN

Yang tidak bisa menerima warisan :

1. Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan

Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh orang yang akan mewariskan,orang tersebut tidak berhak menerima warisan. Baik membunuh secara sengaja ataupun tidak Menurut Madzhab Syafii tidak bisa menerima Warisan. Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris.

2. Berlainan Agama Dan Murtad

Ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia orang Yahudi, sedangkan ahli warisnya Muslim, maka ahli waris yang Muslim tersebut tidak boleh mewarisi hartanya. Dan demikian juga sebaliknya.

3. Anak Li'an

Apabila suami menuduh isterinya berzina dan bersumpah atas nama Allah empat kali, bahwa tuduhannya benar, dan sumpah yang kelima disertai dengan kata-kata " Laknat Allah atas diriku bila aku berdusta", kemudian isterinya juga membalas sumpahnya sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 6, maka anaknya dinamakan anak li'an (tidak diakui oleh suami), maka anak tersebut tidak mendapat warisan bila yang meli'an meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya.

4. Anak Yang Lahir Hasil Zina

Hadits riwayar Amr bin Syu’aib dar bapak dari kakeknya bahwasannya Rosululloh bersabda :

أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد الزنا لا يرث و لا يورث

“Siapa saja lelaki yang berzina baik dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudli 2113dan Tahqiq Misykah 3054).

Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir denganpernikahan syar'i.

UNTUK KASUS ZINA JIKA ORANG TUA/PELAKU TIDAK MENGAKUI BAHWA ANAK TERSEBUT HASIL ZINA MAKA DIPERINCI

Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan

1. Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya)

2. Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

* Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.

Lihat : kitab YaqutunNafis Hal 143, *Mushnaf Ibnu abi Syibah (jus 8 hal 374), Bughyah Al Murtasyiddin Hal 249-250

Pages - Menu