Syirik adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Utamanya dalam hal yang berkaitan dengan aqidah kita. Tetapi, kadang-kadang kita tidak sadar bahwa kita tengah terjebak di dalamnya. Oleh karena itu Rasulullah saw pernah bersabda, dalam rangka memeringatkan diri kita agar kita bersikap hati hati. Beliau pernah menyatakan:
الشِّرك أخْفى في أمَّتي مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ عَلَى الصَّفَا فِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ
“Syirik yang ada di tengah-tengah umat ini lebih tersembunyi dari jalannya semut hitam di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.” (HR Al-Hakim dari ‘Aisyah r.a., Al-Mustadrak, juz II, hal. 319, hadits no. 3148).
Apakah syirik yang yang sangat tersembunyi itu? Salah satunya adalah: “riya’”, yang dinyatakan oleh Rasulullah saw dalam sebuah sabdanya sebagai syirik kecil.
Beliau pernah bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً.
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam? Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: “Riya`. Allah 'Azza wa Jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat pada saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia, lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?” (HR Ahmad bin Hanbal dari Mahmud bin Labid r.a., Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz V, hal. 428, hadits no. 24030)
Kesyirikan merupakan hal yang sungguh amat berat pertanggungjawabannya. Karena syirik berarti bahwa kita telah menyekutukan Allah dengan sesuatu. Dan sungguh Allah tidak butuh sekutu dari siapa pun. Sebagaimana yang tersebut di dalam sebuah hadits qudsi:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Sungguh Aku (Allah) tidak membutuhkan sekutu-sekutu yang membantuKu. Maka barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukanKu dengan selainKu, niscaya Aku akan meninggalkan dirinya dan sekutunya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah r.a., Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 223, hadits no. 7666).
Dan begitu banyak suatu amalan menjadi yang tidak bermakna karena niat dan begitu banyak suatu amalan kecil menjadi besar karena niat. Dalam tausyah kali ini membahas syirik tersembunyi yaitu riya. Suatu penyakit hati yang sulit diobati dan dihindari kecuali oleh orang-orang yang bersunggug-sungguh dalam menjaga hatinya.
Inti dari ajaran agama Islam adalah mengesakan Allah atau ikhlas kepada Allah. Inilah yang membedakan seorang muslim dengan orang kafir. Para ulama mendefinisikan ikhlas dengan “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu.
Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasannya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Rabb (Tuhan) manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhaan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhaimu). Sehingga engkau tidak takut terhadap celaan dan hinaan manusia dan tidak senang dan tidak bangga terhadap sanjungan dan pujian yang diberikan manusia kepadamu.
Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu zhahir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya.
Salah satu hal yang membuat kita tidak ikhlas adalah engkau mencintai apa yang dikatakan sebagai popularitas. Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Lebih parah lagi, betapa banyak orang yang sia-sia dalam amalannya karena niat amalan mereka tidak untuk meraih keridhaan Allah dan hanya sebatas ingin dikenal sebagai orang shalih.
Penyakit popularitas memang sangat menggiurkan, penyakit yang didamba-dambakan oleh orang kafir maupun orang muslim. Ketahuilah bahwa penyakit cinta ketenaran ini ternyata tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakikatnya sama adalah cinta popularitas. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut dengan penyakit riya’ (ingin dilihat orang) dan sum’ah (ingin didengar orang).
Fudhail bin ‘Iyadh mengisahkan, bahwa ada seseorang yang selalu shalat berjamaah di shaf pertama, namun pada suatu hari karena suatu hal, ia terlambat sehingga shalat di shaf kedua, ia pun merasa malu kepada jamaah lain yang melihatnya di shaf kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasannya selama ini hatinya senang dan tenang tatkala shalat di shhaf pertama karena pandangan manusia. Astagfirullâh. Begitulah penyakit riya’, ia seperti semut hitam diatas batu hitam di tengah malam. Terkadang engkau tak menyadari bahwa engkau telah berbuat syirik (riya’).
Ada juga seseorang yang berusaha ikhlas dalam amalan-amalannya. Hingga pada suatu saat, ia tidak melakukan atau meninggalkan suatu amalan karena di hatinya tersirat rasa takut berbuat riya. Secara sepintas ia dibenarkan karena adanya rasa takut berbuat riya dalam hatinya. Tetapi sungguh, sebenarnya dia telah terperangkap dalam jebakan riya. Ketahuilah bahwa meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirik, dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya.
Sering juga kita temui di sekeliling kita, seseorang yang berbuat riya dengan berpura-pura tawadhu’, mencela, mencerca bahakn mengumpat dan menjelek-jelekkan dirinya sendiri terhadap orang di sekitarnya. Ia juga mengatakan bahwa dirinya penuh dengan kecacatan dan kekurangan, dan berkata “Aku tidak bisa apa-apa” atau “aku tidak tahu apa-apa”. Tapi sebenarnya dia melakukan semua itu hanya untuk memamerkan ketawadhuannya kepada orang lain. Padahal Islam mengajarkan hendaknya seseorang bersikap seimbang: “Tidak mencela diri sendiri terang-terangan dan tidak memuji-muji diri sendiri.”
Atau kita pernah menjumpai atau malahan terjadi pada diri kita sendiri. Saat kita berhadap-hadapan dengan lawan jenis, dengan sigap kita menunduk-nundukkan kepala kita dan seolah-olah kita ingin menampakkan bahwa kita telah menundukkan pandangan kita terhadap lawan jenis yang ada di hadapan kita. Ketahuliah, bahwa kita disuruh menahan pandangan kita terhadap lawan jenis dan tidak harus dengan menundukkan kepala.
Wahai saudaraku, ketahuilah sesungguhnya ikhlas adalah sesuatu yang sangat berat, penuh perjuangan untuk bisa meraihnya. Pintu-pintu yang bisa dimasuki setan untuk bisa merusak keikhlasan kita terlalu banyak. Tatkala kita sedang beramal maka setanpun berusaha untuk bisa menjadikan kita riya’, kalau tidak bisa menjadikan kita riya’ di permulaan amal, maka dia akan berusaha agar kita riya’ di pertengahan amal. Kalau tidak mampu lagi maka di akhir amalan kita. Sungguh benarlah perkataan Sufyan Ats-Tsauri, “Saya tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat daripada niat, karena niat itu berbolak-balik (berubah-ubah)”.
Wahai saudaraku, ketahuilah, sesungguhnya untuk melawan penyakit riya atau mencari popularitas dalam jiwa kita sungguh amat sulit. Perlu motivasi dan intropeksi diri di setiap saat kita beramal. Kita perlu mencontoh para mukhlisin atau orang-orang yang ikhlas terdahulu yang selalu berusaha menjaga keikhlasan hatinya. Mereka bukanlah tipe orang yang mengejar-ngejar ketenaran, mereka adalah tipe orang yang benci dan sangat membenci popularitas. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia. Dan kesungguhan mereka tercermin dari sikap, perkataan dan tindakan mereka.
Seseorang bertanya pada Tamim ad-Dari “Bagaimana shalat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja shalatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku shalat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia”. Subhânallah.
Suatu saat Abu Bakar ash-Shidddiq pernah dipuji di hadapan orang lain. Maka ia pun berkutbah setelah itu, serayaberdoa : “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui”. Ia mengucapkan doa ini dengan keras untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga mereka tidak berlebih-lebihan (memuji) kepadanya.
Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orang pun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku”.
Abu Hazim Salamah bin Dinar pernah berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”.
Dalam berniat, kita hanya ada di dua posisi, ikhlas atau tidak ikhlas. Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, “Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api”. Mulai sekarang, kita harus selalu berupaya agar niat dalam amalan kita hanya kita tujukkan kepada Allah. Kita harus selalu waspada akan datangnya penyakit hati riya’ dalam niat-niat kita.
Berkatalah Hasan al-Bashri, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh tidak ada orang yang merasakan aman dari penyakit riya’ dan nifaq kecuali seorang munafik. Dan, tidak ada orang yang merasa takut dari keduanya kecuali orang mukmin”.
Maka di saat kita menghiasi amalan zhahirmu di hadapan manusia, maka hendaknya engkau pun menghiasi hatimu di hadapan Rabbmu. Dan janganlah biarkan musibah yang sangat menyedihkan datang kepada kita, yaitu ketika setan menggelincirkan kita sedikit-demi sedikit hingga kita terjatuh ke dalam jurang, sedang kita menyangka bahwa kita sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” Sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi/18: 104).
Inilah pelajaran yang perlu kita perhatikan, agar kita tidak terjebak pada sikap yang bisa menghapus pahala amal shalih kita, karena keikhlasan kita tersapu bersih oleh sikap riya’ (syirik kecil) – dan juga sum’ah -- yang kadang-kadang tidak kita sadari.
Berhati-hatilah!