Tafsir Ibnu Katsir
- Biografi dan perjalanan Hidup Ibnu Katsir
Nama
lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ` ‘Imaduddin Isma’il bin Syeikh Abi
Hafash Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i Ibnu Katsir bin Zarâ`
al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashra
sebelah timur kota Damaskus pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari
Bashra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama
Syihabuddin Abu Hfsh Umar ibnu Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta
berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini
sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah
wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana[1].
Ibnu Katsir adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Beliau lahir pada tahun 1301M di Busra, Suriah dan wafat pada tahun 1372 M
di Damaskus, Suriah. Tercatat, guru pertamanya adalah Burhanuddin
al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i. Ia berguru kepada Ibnu
Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ibnu Katsir
menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir ini merupakan yang paling sering digunakan dalam dunia Islam[2].
Sebagian
pendapat yang lain mengatakan bahwa Nama lengkap ibnu katsir ialah,
Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dhau bin Dhar’in yang kemudian dipanggil
“Abu al-Fida” dan beliau dijuluki dengan “Imaduddin” yang berarti tiang
agama, yang sampai sekarang ini beliau terpanggil dengan sebutan
“Al-Hafidh Ibnu Katsitr”[3].
· Guru-guru beliau adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i, konon beliau adalah guru yang pertama Imam Ibnu Katsir.
· Ibnu Taymiyyah, beliau berguru pada Ibnu Taimiyah ketika beliau di Damakus, Suriah. Dalam Tafsir wal Mufassirun disebutkan
bahwa Ibnu Qadhi Syuhbah mengatakan bahwa Ibnu Katsir mempunyai
hubungan kusus dengan Ibnu Taimiyah dan beliau banyak mengikuti
pendapatnya Ibnu Taimiyah. Misalnya dalam masalah talaq, beliau berfatwa
dengan pendapat gurunya ini sehingga dengan sebab masalah ini beliau
difitnah dan disakiti oleh banyak orang. Tidak hanya itu, saking
dekatnya hubungan Ibnu Katsir dengan gurunya (Ibnu Taimiyah) jenazahnya
dimakamkan disamping makam Ibnu Taimiyah, di Sufiyah, Damaskus.
· Ibnu al-Qayyim, beliau juga termasuk salah satu murid dari Ibnu Taimiyah.
· Jamalluddin Al-Mizzi, Ia
adalah seorang ulama yang pakar dibidang hadis di Suriah, dan pada
akhirnya beliau menikahkan Ibnu Katsir dengan putri beliau. Oleh sebab
itu beliau cukup lama hidup di Suriah.
· Imam Ibnu Asakir
· Imam Az-Dzahabi. Dan masih banyak lagi guru beliau yang tidak kami sebutkan.
Karena
begitu tinggi keilmuan yang dimiliki Ibnu Katsir, maka hal itu
mengundang sebagian orang yang ingin berguru kepada beliau. Namun
sayangnya data sejarah kurang memperhatikan masalah ini. Salah satu
muridnya yang terkenal adalah Syihabuddin Ibnu Hijji. Ia pernah
berkomentar mengenai gurunya yaitu, “Dia adalah orang yang pernah kami
temui dan yang paling kuat hafalanya terhadap matan hadis, dan paling
paham dengan tahrij dan perawinya, dapat membedakan yang hadis sahih
dengan hadis yang lemah, banyak menghafal berbagai kitab tafsir dan
kitab tarikh, jarang sekali lupa dan memiliki pemahaman yang baik serta
agama yang benar.”Dia
termasuk seorang pakar dalam bidang fikih, tafsir, nahwu, sejarah,
hadits, dan ilmu rijal hadits.Dalam kesibukannya dia selain sebagai
seorang mufti yang sangat diakui keilmuannya oleh ulama pada waktu itu,
dia juga seorang pengajar[4].
Ibnu
Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini
sebagaimana yang ia utarakan; anak yang paling besar di keluarganya
laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah
saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
Sosok
ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan
ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya,
bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang
taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu
melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari
mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan
kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam
percaturan keilmuan.
Ibnu Katsir mulai sejak
kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibnu Katsir baru
berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang
mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun,
Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada
tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua
Grand Syeh Damaskus, yaitu Syeikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman
al-Fazzari (w. 729) -terkenal dengan Ibnu al-Farkah- tentang fiqh
Syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syeh Kamaluddin
bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, Syeikh Ahmad
bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibnu
Syairazi, Syeikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syeikh Abu Musa
al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syeikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725),
Syeikh Muhammad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada
Syeikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan
pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syeikh
al-Mazi. Syeikh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.
Semasa hayatnya, beliau banyak menulis beberapa karya yang berharga. Diantara karya beliau yang terkemuka[5] adalah:
§ Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, kitab ini lebih populer dengan nama Tafsir Ibnu Katsir.
Kitab ini mempunyai metode yang unik yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, tafsir ini tergolong tafsir bil ma’tsur. Selain itu kitab
ini juga dijadikan bahan rujukan oleh banyak ulama baik sebelum maupun
sesudah beliau wafat.
§ Al-Bidayah wan Nihayah, kitab
ini bereorentasi dalam bidang sejarah. Kitab ini sangat penting untuk
diketahui oleh sejarawan Islam karena dalam kitab ini sejarah disusun
berdasarkan dua tahap. Tahap pertama membahas tentang sejarah kuno mulai dari penciptaan sampai masa kenabian Muhammad SAW. Tahap yang kedua sejarah Islam dari periode Nabi Muhammad SAW. Sampai pertengahan abad ke-8 H.
§ Kitab Jami’ al-Musanid wa al-Sunan, kitab ini terdiri dari delapan jilid yang berisikan nama-nama sahabat dan perawi hadis yang terdapat didalam Musnad Ahmad bin Hambal.
§ Al-Mukhtasar, kitab ini adalah ringkasan dari Muqadimah li Ulum al-Hadis karya Ibnu Shalah (W.642 H)
§ Qasas al-Anbiya’ yaitu kitab yang membahas tentang cerita para Nabi
§ Al-Wadihun Nafis fi Manaqibil Imam Muhammad Ibn Idris, kitab ini menjelaskan tentang biografi Imam Syafi’i,
§ At-Takmilah fi Ma’rifat al-Siqat wa al-Du’afa’ wa al-Mujahal, merupakan
kitab penyempurna untuk mengetahui para periwayat hadis yang tsiqah,
da’if, dan perawi yang majhul (kurang dikenal). Kitab ini disusun
menjadi lima jilid. karya ini adalah karya gabungan dua karya Imam
Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl
fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil. Dan masih ada lagi kitab karya beliau yang belum kami cantumkan.
- Metode penafsiran Ibnu Katsir
Dalam
kitab tafsir ibnu katsir ini sistematikanya seperti karya-karya tafsir
lainnya yaitu pertama kali yang dilakukan adalah menyebutkan surat dan
penamaannya kemudian dijelaskan fadilah atau keutamaan dari surat itu
dan seterusnya pada surat-surat yang lain, terkadang beliau menyebutkan
asbabu nuzulnya kemudian setelah itu beliau memulai menafsirkan ayat per
ayat dengan metode[6] berikut:
a. Menafsirkan al qur’an dengan al qur’an
Maksudnya
dalam hal ini ibnu katsir menafsirkan ayat al qur’an dengan ayat yang
lain yang mempunyai munasabah atau konsekuensi logis dari ayat ke ayat
lain, atau ayat yang mempunyai penjelasan terhadap ke globalan ayat yang
akan ditafsirkan, seperti pada ayat:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِين
ومعنى
الكلام: أن هذا الكتاب -وهو القرآن-لا شك فيه أنه نزل (6) من عند الله،
كما قال تعالى في السجدة: { الم * تَنزيلُ الْكِتَابِ لا رَيْبَ فِيهِ مِنْ
رَبِّ الْعَالَمِينَ } [السجدة: 1، 2]. [وقال بعضهم: هذا خبر ومعناه
النهي، أي: لا ترتابوا فيه] (7) . ومن
القراء من يقف على قوله: { لا رَيْبَ } ويبتدئ بقوله: { فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ } والوقف على قوله تعالى: { لا رَيْبَ فِيهِ } أولى للآية
التي ذكرنا، ولأنه يصير قوله: { هُدًى } صفة للقرآن، وذلك أبلغ من كون: {
فِيهِ هُدًى } .و{ هُدًى } يحتمل من حيث العربية أن يكون مرفوعًا على
النعت، ومنصوبًا على الحال. وخصّت
الهداية للمتَّقين. كما قال: { قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى
وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ
عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ } [فصلت:
44]. { وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا } [الإسراء: 82]
إلى غير ذلك من الآيات الدالة على اختصاص المؤمنين بالنفع بالقرآن؛ لأنه
هو في نفسه هدى، ولكن لا يناله إلا الأبرار، كما قال: { يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ } [يونس: 57]
b. Menafsirkan al qur’an dengan sunnah
Setelah
mencari munasabah dan konsekuensi dari ayat lain tidak dapat dimukan,
maka ibnu katsir menafsirkan ayat al qur’an dengan as sunnah, karena
sebagaimana salah satu fungsi as sunnah adalah menjelaskan dan
menerangkan terhadap al qur’an yang masih global maknanya, bahkan imam
syafi’i pernah berkata “setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah itu
diambil dari pemahaman beliau terhadap al qur’an”. Oleh karena itu,
ibnu katsir menjadikan as sunnah sebagai metode kedua untuk menafsirkan
ayat-ayat al qur’an yang tidak ditemukan munasabah atau konsekuensi
logisnya pada ayat-ayat yang lain. Penggunaan metode ini tampak pada
ayat berikut:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
وذكر
حديث تقليب القلوب: "ويا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك"، وذكر حديث
حذيفة الذي في الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "تعرض الفتن
على القلوب كالحصير عودًا عودا فأي قلب أشربها نكت فيه نكتة سوداء وأي قلب
أنكرها نكت
فيه نكتة بيضاء، حتى تصير على قلبين: على أبيض مثل الصفاء فلا تضره فتنة
ما دامت السموات والأرض، والآخر أسود مرباد كالكوز مجخيًا لا يعرف معروفًا
ولا ينكر منكرًا" الحديث.
قال
(1) والحق عندي في ذلك ما صَحّ بنظيره (2) الخبرُ عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم، وهو ما حدثنا به محمد بن بشار، حدثنا صفوان بن عيسى، حدثنا ابن
عَجْلان، عن القعقاع، عن أبي صالح، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم:(إن المؤمن إذا أذنب ذنبًا كانت نُكْتة سوداء في قلبه فإن
تاب ونزعَ واستعتب صقل قلبه، وإن زاد زادت حتى تعلو قلبه، فذلك الران الذي
قال الله تعالى: { كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ } [المطففين: 14] (3). وهذا
الحديث من هذا الوجه قد رواه الترمذي والنسائي، عن قتيبة، عن الليث بن
سعد، وابن ماجه عن هشام بن عمار عن حاتم بن إسماعيل والوليد بن مسلم،
ثلاثتهم عن محمد بن عجلان، به (4) . وقال الترمذي: حسن صحيح.
ثم
قال ابن جرير: فأخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الذنوب إذا تتابعت
على القلوب أغلقتها، وإذا أغلقتها أتاها حينئذ الختم من قبل الله تعالى
والطبع، فلا يكون للإيمان إليها مسلك، ولا للكفر عنها (5) مخلص، فذلك (6)
هو الختم والطبع الذي ذكر (7) في قوله تعالى: { خَتَمَ اللَّهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ } نظير الطبع والختم على ما تدركه الأبصار
من الأوعية والظروف، التي لا يوصل إلى ما فيها إلا بفض (8) ذلك عنها ثم
حلها، فكذلك (9) لا يصل الإيمان إلى قلوب من وصف الله أنه ختم على قلوبهم
وعلى سمعهم إلا بعد فض خاتمه وحَلّه رباطه [عنها] (10) .
c. Menafsirkan al qur’an dengan atsar
Setelah
melakukan metode penafsiran dengan ayat-ayat yang mempunyai munasabah
dan semacamnya dan dengan hadis atau sunnah, dan tidak dapat ditemukan
pemahaman yang jelas, maka ibnu katsir menggunakan “Atsar” atau
perkataan sahabat, karena ibnu katsir menganggap bahwa sahabat adalah
yang lebih mengetahui maksud dari ayat yang ingin beliau tafsiri dan
sahabat juga merupakan saksi primer yang mengetahui indikasi dan keadaan
saat turunnya ayat dan setting historis setelahnya, selain itu sahabat
juga mempunyai pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar, dan
pengamalan yang baik, terutama para tokoh-tokohnya seperti Al Khulafau Al Rasyidin dan lainnya.
Oleh
karena itu, ibnu katsir menggunakan metode ini terlebih dahulu sebelum
melangkah kepada metode selanjutnya. Contoh penafsirannya seperti pada
ayat berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
وقد
روى ابن جرير وابن أبي حاتم من طريق عبد المؤمن، عن نَجْدَة الحَنَفِي
قال: سألت ابن عباس عن قوله: { وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا } أخاص أم عام؟ فقال: بل عام. وهذا يحتمل أن يكون موافقة من ابن عباس لما ذهب إليه هؤلاء، ويحتمل غير ذلك، فالله أعلم. وتمسكوا
بما ثبت في الصحيحين، عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"لَعَن الله السارق، يسرق البيضة فتقطع يده، ويسرق الحبل فتقطع يده". (1)
وأما الجمهور فاعتبروا النصاب في السرقة، وإن كان قد وقع بينهم الخلاف في
قدره، فذهب كل من الأئمة الأربعة إلى قول على حِدَةٍ، فعند الإمام مالك بن
أنس، رحمه الله: النصاب ثلاثة دراهم مضروبة خالصة، فمتى سرقها أو ما يبلغ
ثمنها فما فوقها وجب القطع، واحتج في ذلك بما رواه عن نافع، عن ابن عمر؛ أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قطع في مِجَن ثمنه ثلاثة دراهم. أخرجاه في
الصحيحين. (2)
d. Menafsirkan al qur’an dengan perkataan tabi’in
Singkatnya
adalah ibnu katsir ketika tidak menemukan penjelasan tentang sesuatu
dalam al qur’an, sunnah, perkataan sahabat, maka perkataan tabi’in ia
jadikan sebagai referensi berikutnya sebelum ia menggunakan ijtihadnya
sendiri. Bahkan dalam hal ini terkadang menanyakan langsung kepada
tabi’in seperti utsman al tsaury, mujahid bin jubair dan yang lain. dan
ibnu katsir dalam tafsirnya sering mengutip perkataan beliau. Aplikasi
metode ini sebagaimana terlampir dalam tafsirnya pada ayat di bawah ini:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
وقال سفيان الثوري، عن عاصم، عن زِرّ، قال: الْغَيْب القرآن. وقال عطاء بن أبي رباح: من آمن بالله فقد آمن بالغيب. وقال إسماعيل بن أبي خالد: { يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ } قال: بغيب الإسلام. وقال
زيد بن أسلم: { الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ } قال: بالقدر. فكل هذه
متقاربة في معنى واحد؛ لأن جميع هذه المذكورات من الغيب الذي يجب الإيمان
به.
e. Menafsirkan al qur’an dengan mengacu pada Ma’any Al Qur’an
Dalam
artian bahwa penafsiran ini tidak hanya berdasarkan makna ayat per ayat
saja tetapi juga meliputi berbagai macam aspek dalam bahasa arab karena
al qur’an diturunkan dengan bahasa arab, seperti juga syi’ir-syi’ir,
balaghahnya dan hal-hal lain terkait yang dapat membantu beliau, ibnu
katsir dalam menafsirkan sebuah ayat yang tidak ditemukan penjelasannya
pada ayat yang lain, sunnah, atau penjelasan dari sahabat.
Oleh karena hal tersebut, maka metode inilah sebagai alternatifnya. Sebagimana pada ayat di yang ditafsirkan dibawah ini:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ
أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ
يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
وقد اختلف السلف والخلف والأئمة في المراد بالأقْرَاء ما هو ؟ على قولين: أحدهما:
أن المراد بها: الأطهار، وقال مالك في الموطأ عن ابن شهاب، عن عروة، عن
عائشة أنها قالت: انتقلت حفصة بنتُ عبد الرحمن بن أبي بكر، حين دخلت في
الدم من الحيضة الثالثة، قال الزهري: فذكرتُ ذلك لعمرة بنت عبد الرحمن،
فقالت: صدق عروة. وقد جادلها في ذلك ناس فقالوا: إن الله تعالى يقول في
كتابه: " ثلاثة قروء " فقالت عائشة: صدقتم، وتدرون ما الأقراءُ؟ إنما
الأقراء: الأطهارُ. وقال
مالك: عن ابن شهاب، سمعت أبا بكر بن عبد الرحمن يقول: ما أدركت أحدًا من
فقهائنا إلا وهو يقول ذلك، يريد قول عائشة. وقال مالك: عن نافع، عن عبد
الله بن عمر، أنه كان يقول: إذا طلق الرجل امرأته فدخلت في الدم من الحيضة
الثالثة فقد بَرئت منه وبرئ منها. وقال مالك: وهو الأمر عندنا. ورُوي مثله
عن ابن عباس وزيد بن ثابت، وسالم، والقاسم، وعروة، وسليمان بن يسار، وأبي
بكر بن عبد الرحمن، وأبان بن عثمان، وعطاء ابن أبي رباح، وقتادة، والزهري،
وبقية الفقهاء السبعة، وهو مذهب مالك، والشافعي [وغير واحد، وداود وأبي
ثور، وهو رواية عن أحمد، واستدلوا عليه بقوله تعالى: { فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ } [الطلاق: 1] أي: في الأطهار. ولما كان الطهر الذي يطلق
فيه محتسبًا، دل على أنه أحد الأقراء الثلاثة المأمور بها؛ ولهذا قال
هؤلاء: إن المعتدة تنقضي عدتها وتبين من زوجها بالطعن في الحيضة الثالثة، وأقل مدة تصدق فيها المرأة في انقضاء عدتها اثنان وثلاثون يومًا ولحظتان].
واستشهد أبو عُبَيْد وغيره على ذلك بقول الشاعر -وهو الأعشى -:
ففي كل عام أنت جَاشِمُ غَزْوة ... تَشُدّ لأقصاها عَزِيمَ عَزَائِكا ...
مُوَرَّثة عدَّا، وفي الحيّ رفعة ... لما ضاع فيها من قُروء نسائكا ...
وقال
ابن جرير: أصلُ القرء في كلام العرب: "الوقت لمجيء الشيء المعتاد مجيئه في
وقت معلوم، ولإدبار الشيء المعتاد إدباره لوقت معلوم". وهذه العبارة تقتضي
أن يكون مشتركًا بين هذا وهذا، وقد ذهب إليه بعض [العلماء] الأصوليين
فالله أعلم. وهذا قول الأصمعي: أن القرء هو الوقت. وقال أبو عمرو بن
العلاء: العرب تسمي الحيض: قُرْءًا، وتسمي الطهر: قرءا، وتسمي الحيض مع
الطهر جميعًا: قرءا. وقال الشيخ أبو عمر بن عبد البر: لا يختلف أهل العلم
بلسان العرب والفقهاء أن القرء يراد به الحيض ويراد به الطهر.
- Komparasi metodologi tafsir Ibnu katsir dengan Ibnu taimiyah
Upaya
mengkomparasikan karekteristik Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu
Taimiyah akan selalu bersinggungan dengan setting historis kedua
penyusunnya, yaitu ‘Imad al-Din Ismail ibn ‘Umar ibn Katsir al-Quraisy
al-Dimasyqi dan Taqqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad ibn ‘Abdul Halim ibn
Muhammad ibn Taimiyah al-Harrani. Hubungan keduanya sebagai murid dan guru berpotensi besar akan mempengaruhi produk tafsir keduanya.
Maka membandingkan kedua produk tafsir tersebut cenderung pada pembahasan tentang corak, bentuk, metode,[7]
karakteristik, ataupun spesifikasi penyusunan dan unsur-unsur internal
lainnya. Berikut adalah model penafsiran kedua mufassir masyhur
tersebut.
1. Corak, Metode, dan Spesifikasi Penyusunan Tafsir Ibn Katsir
Tafsir Ibn Katsir, atau lebih dikenal juga dengan sebutan Tafsir al-Qur’an al-Azhim
merupakan salah satu kitab tafsir yang menjadi rujukan banyak umat
Islam termasuk di Indonesia. Beberapa catatan menyangkut karakteristik
kitab Tafsir Ibn Katsir ini adalah sebagai berikut:
Ø Ibn
Katsir menyusun kitab tafsirnya ini dengan sistematika tertib susunan
ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Qur’an, atau lebih dikenal
dengan sebuta tartib mushafi. Dispesifikasikan menjadi empat
jilid sebagai berikut: jilid I mencakup tafsir surat al-Fatihah hingga
surat an-Nisa, jilid II berisi tafsir surat al-Maidah sampai surat
al-Nahl, jilid III berisi tafsir surat al-Isra hingga surat Yasin, dan
jilid IV berisi tafsir surat al-Saffat hingga surat an-Nas.[8]
Ø Termasuk dalam jenis tafsir bi al-ma’tsur. Beliau
menggunakan metode menafsirkan al-Qur’an dengan menyebutkan ayat, lalu
ditafsirkan dengan ungkapan yang mudah, ringkas dan menyatukan ayat-ayat
yang relevan untuk dikomparasikan.[9] Berkarakter dan berorientasi (al-lau wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’tsur/tafsir bi al-riwayah,
karena di dalamnya banyak menggunakan riwayat hadis, pendapat sahabat
ataupun tabi’in. Ibnu Katsir menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
hadits-hadits dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu
para sahabat dan tabi’in.
Ø Menggunakan
pendekatan normatif-historis dengan landasan riwayat. Walaupun
kadangkala beliau juga mengguanakan rasio atau penalaran.
Ø Menggunakan metode penafsiran manhaj tahlili
(metode analitis), karena menafsirkan ayat dengan analisa berdasarkan
urutan mushaf al-Qur’an. Namun di sisi lain dapat pula dimasukkan dalam
kategori metode semi tematik (maudu’i), karena beliau
mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembahasan ke
dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan
ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang
diinterpretasikan.[10]
Ø Corak yang digunakan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-‘Adzim adalah bercorak umum.[11]
Ø Daya
kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak
tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur, baik secara global maupun
mendetail.
Ø Menyebutkan
kisah-kisah yang berhubungan dengan penafsiran ayat yang sedang
ditafsirkan tentu saja kisah-kisah yang disampaikan itu disebutkan jalur
periwayatannya.
Ø Ibnu
Katsir mempunyai metode tersendiri. Menurutnya jika ada yang bertanya:
“Apakah metode tafsir yang paling bagus?” maka jawabnya: “Metode yang
paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
ayat al-Qur’an. Dan perkara-perkara yang global di satu ayat dapat
ditemukan rinciannya dalam ayat lain. jika tidak mendapatkannya maka
hendaklah mencarinya dalam Sunnah kerena Sunnah adalah penjelas bagi
al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ
بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Ø Rasyid
Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang
memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari para mufassir
salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan
masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan
secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari
pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam
memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara
khusus.”
Ø Ibn Katsir juga menyinggung masalah jarh wa ta’dil
yang dibutuhkan, mentarjihkan pendapat atas pendapat yang lain,
menetapkan “lemah” pada sebagian riwayat dan menyatakan “shahih” pada
riwayat yang lain.[12]
Ø Selain itu dikatakan juga bahwa Ibn Katsi dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Azhim ini begitu teliti dalam mengetengahkan isnad, serta memilih kalimat-kalimat yang sederhana namun sangat jelas.[13]
Ø Adapun langkah-langkah (stratifikasi) penafsiran yang digunakannya secara garis besar adalah sebagai berikut:[14]
v Ibn
Katsir menyebutkan ayat yang akan diinterpretasikan, kemudian
menafsirkannya dengan bahasa yang lugas dan ringkas. Jika dibutuhkan dan
memungkinkan beliau mengkomparasikan ayat tersebut dengan ayat lain,
sehingga makna yang dimaksud menjadi jelas.
v Mengemukakan berbagai hadis atau riwayat yang marfu’
yang bersinggungan dengan ayat yang sedang ditafsirinya. Di samping itu
beliau juga menghubungkannya dengan argumentasi para sahabat, tabi’in,
dan para ulama salaf.
v Mengemukakan
pendapat para mufassir sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang
menentukan pendapat yang paling kuat di antara pendapat para ulama
tersebut, atau menawarkan pendapatnya sendiri, dan terkadang pula ia
sendiri tidak berpendapat.
Dalam bahasa lain, tahap-tahap tersebut adalah sebagaimana berikut ini:
v Menafsirkan dengan al-Qur’an (ayat-ayat lainnya)
v Menafsirkan dengan hadis
v Menafsirkan dengan pendapat sahabat dan tabi’in
v Menafsirkan dengan pendapat para ulama
v Menafsirkan dengan pendapatnya sendiri
2. Corak, Metode, dan Spesifikasi Penyusunan Tafsir Ibnu Taimiyah
Tafsir
Ibn Taimiyah secara keseluruhan dihimpun oleh ‘Abdurrahman Muhammad Ibn
Qasim al-‘Ashimi an-Najdi al-Hanbali dalam empat jilid. Terhimpun dalam
Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah
sengaja tidak menafsirkan seluruh isi al-Qur’an, karena menurut beliau
sebagian ayat al-Qur’an sudah jelas dan sebagiannya telah ditafsirkan
oleh ulama. Ia membatasi tafsirnya hanya pada ayat-ayat yang membutuhkan
penafsiran lebih lanjut.[15]
Secara garis besar, metodologi Ibn Taimiyah dalam setiap karyanya adalah terdiri dari empat unsur berikut:[16]
Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak dalam menentukan hukum.
Ibnu
Taimiyah tidaklah berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu
Taimiyah tidak seorangpun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber
dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Atsar para ulama salaf yang
mengikuti Nabi saw. tentang madzhab empat, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa jika pendapat-pendapat ulama Salaf sesuai dengan al-Qur'an, Sunah
dan Atsar, mereka perlu kita ikuti, dan begitu juga sebaliknya.
Ibnu
Taimiyah berpandangan bahwa Syari’ah itu bersumber dari al-Qur’an, Nabi
Muhammadlah yang menjelaskan dan memperaktekkannya kepada umat terlebih
kepada para shahabat pada masa Nabi saw.
Ibnu
Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu
Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya,
kecuali yang sesuai dengan al-Qur'an, Sunnah dan Atsar Salaf.
Adapun metode dan prinsip penafsiran dalam tafsir Ibn Taimiyah adalah seperti poin-poin berikut:
Ø Tafsir ini termasuk dalam metode penafsiran tahlili dan pendekatan riwayat (tafsir bi al-ma’tsur/ tafsir bi al-naql),
karena ia menyoroti ayat-ayat al-Qur’an denganmemaparkan segala makna
dan aspek yang terkandung di dalamnya, sesuai urutan bacaan yang
terdapat didalam al-Qur’an Mushaf ‘Utsmani. Dilihat dari bentuk tinjauan
dan kandungan informasinya menggunakan metode al-tafsir bi al-ma’tsur.[17] Akan tetapi ada juga yang menggolongkannya sebagai tafsir maudu’i (tematik) berdasar poin nomor empat berikut.
Ø Corak penafsirannya bersifat kombinatif karena tidak ada unsur yang dominan. Prosedur ma’tsur dikuatkan
dengan karakter pokok Ibnu Taimiyah yang menghindari penafsiran akal
semata, mengkritik penafsiran dengan akal seperti Zamahsyari. Hal itu
dengan cara menggunakan jalur transmisi riwayat yang berlapis,
menggunakan penjelasan qira’at, menggembalikan ukuran kebahasaan pada syair Arab klasik, serta kritis terhadap narasi Israiliyat maupun tafsir kalangan mutakallimin.[18]
Ø Ibn
Taimiyah mengawali tafsirnya dengan menjelaskan nama-nama al-Qur’an
berdasarkan sebutan dalam al-Qur’an, antara lain, al-Furqan, al-Kitab,
dan lain-lain.[19]
Ø Termasuk
dalam kelompok tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan dengan
ciri menjelaskan petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
kehidupan masyarakat.
Ø Ibn
Taimiyah tidak terlalu fokus pada permasalahan i’rab, dan persoalan
kebahasaan, kecuali untuk menegaskan maknanya atau untuk proses tarjih.
Ø Pada
taraf tertentu penafsiran Ibn Taimiyah menggunakan metode ta’wil
(hermeneutika). Beliau juga memadukan naql dan ra’yu dengan harmonis.
Prosedur dan ciri pokok penafsiran Ibn Taimiyah tersebut adalah sebagai berikut:[20]
v Memandang satu surat sebagai satu kesatuan yang serasi dan utuh.
v Menekankan kandungan al-Qur’an sebagai sumber aqidah.
v Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an.
v Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi dan perkataan para sahabat.
v Sangat teliti dalam memahami redaksi ayat dan lafal-lafalnya.
v Pembahasan ayat yang luas dengan beberapa ayat yang serupa.
v Menggunakan akal secara kritis dalam menyimpulkan pesan al-Qur’an.
- Pandangan Ulama tentang Beliau
v Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika Imam as-Suyuthi
(w.911), ulama berkebangsaan Mesir, Ia berkata, “al-Hafizh Ibnu Katsir
adalah master dalam ilmu hadits, ia mengetahui hukum hadits, ‘illat
hadits, serta mata rantai rawinya. Begitu juga dalam al-jarh wa
al-ta’dîl. Ia telah membuahkan karya yang sangat monumental sekali, dan
tidak ada ulama yang mengarang seumpama itu”. Sungguh suatu pengakuan
yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika seorang
mufasir besar, Imam Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir Ibnu Katsir,
“lam yu-laf ‘alâ namthihi mitsluhu“. Setelah diteliti oleh muhaqqiq
dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir Ibnu katsir sangat ilmiah dan
kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa
jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa
karya ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga,
karena Ibnu Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari
berbagai disiplin ilmu, Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu
hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan geografi.
v Al-Badar mengatakan,
“Beliau adalah seorang ulama yang menjadi teladan bagi para ulama,
Hufadz, serta para ahli bahasa.Dengan tekun beliau belajar
bermacam-macam ilmu, menulis, dan melakukan kajian.Beliau mempunyai
perhatian yang sangat besar dalam ilmu hadits, tafsir, dan sejarah.
v Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
“Beliau sering mengundang banyak orang untuk mengkaji berbagai macam
ilmu.Beliau juga seorang yang berjiwa humoris.Dalam karyanya telah
menyebar ke seluruh penjuru dunia dan dimanfaatkan oleh banyak orang.
v Salah seorang muridnya dan sekaligus seorang sejarawan, Shahibuddin bin Hijji
mengatakan, “Beliau adalah seorang yang mempunyai hafalan yang kuat dan
yang palin bagus tentang masalah matan hadits dan yang paling
mengetahui tentang keadaan para perawi tentang keshahihannya maupun
kecacatannya (jarh) yang pernah kami kenal.Para sahabat dan guru-gurunya
pun mengakui tentang hal itu.
KESIMPULAN
Dari berbagai pemaran yang telah dijelaskan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pertama,
profil beliau menunjukkan ketekunan beliau dalam mencari ilmu sejak
kecil hingga beliau pulang kembali ilahi rabbi, bahkan dijelaskan pula
bidang-bidang keahlian beliau seperti fiqih, hadis, nahwu dan lain-lain,
keahlian tersebut beliau buktikan dengan karya-karya beliau yang tidak
asing lagi di telinga para pengkaji dan peneliti, khususnya para
pelajar. Tidak hanya itu tetapi keahlian tersebut juga membantu beliau
menyelesaikan karya fenomenalnya yaitu “Tafsir Al Qur’anu Al ‘Adhim” yang dikenal dengan tafsir Ibnu katsir.
Kedua,
jelas bahwa tafsir beliau ini termasuk ke dalam tafsir bil ma’tsur
karena memenuhi kriteria yang telah ditetapkan para ulama dahulu yaitu
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau sendiri didalam muqaddimah
kitab tafsirnya bahwa paling baiknya penafsiran ialah menfsirkan dengan
al qur’an, sunnah, perkataan sahabat, tabi’in dan kemudian istisyhad
dengan berbagai keilmuan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Oleh
karena itu, hal inilah yang dipegang teguh oleh beliau mengapa beliau
tidak memilih cenderung kepada tafsir bil ma’qul. Selain itu beliau juga
pernah berkata bahwa jika menafsirkan al qur’an hanya dengan
menggunakan saja maka itu haram, tetapi jika akal sebagai alat bantu
kita untuk memahaminya baik secara bahasa maupun secara syar’i maka hal
tersebut tidak apa-apa.
Ketiga,
sosok Ibnu katsir dikenal dekat dengan guru beliau Ibnu taimiyah bahkan
konon beliau banyak terinpirasi dan dipengaruhi oleh gurunya tersebut.
Oleh karena itu, untuk meninjak lanjuti hal tersebut maka penulis
mencoba untuk membandingkan karya tafsir Ibnu katsir dengan karya tafsir
Ibnu taimiyah. Dan dari hasil perbandingan tersebut memang terlihat ada
pengaruh dalam penggunaan metode tetapi tidak pada sistematika
penulisannya, hal tersebut tidak terlalu penting untuk dibahas tetapi
yang penting adalah peran akal sangat mendominasi pada penafsiran ibnu
taimiyah dari pada ibnu katsir. Dengan ini untuk sementara penulis
menyimpulkan bahwa ibnu katsir mencoba untuk mengkompromikan tafsir bil
ma’tsur dengan tafsir bil ma’qul.
DAFTAR PUSTAKA
- CD maktabah Syamilah
- Adz-Dzarqiy, Abdur Rahman. Bidayatun Nihayah. Beirut Libanon. 1999. Cet.V
- An-Nursiy, Syaikh Mohammad Sa’id. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar. 2007. Cet.I
- http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Katsir
- Fotocopy kitab “Al Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum” hlm. 304
- Ibnu Katsir, Al hafidz “tafsiru al qur’anu al ‘adhim”. beirut: maktabah nur ilmiyah. Tanpa tahun.
- Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011
- Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 2003
- Yusuf, Muhammad dkk. Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Teras. 2004
- Al-Qattan, Manna’ Khalil Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Litera Antar Nusa. 2011
- As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008
- Ar., Didi Suryadi. Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyah; Telisik Metodologi dalam Pemikiran. kumpulan tulisan dalam buku "Internalisasi Manhaj Ulama" (buku Maha Karya Generasi Muda Banten di Mesir. cet pertama. April 2008. KMB Mesir)
- Masyhud. Jurnal Penelitian Agama. Pemikiran Ibn Taimiyah Tentang Metode Penafsiran Al-Qur’an Sebagai Upaya Pemurnian Pemahaman Terhadap Al-Qur’an. Purwokerto: STAIN Purwokerto. 2008
[3]Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet.I, hal.348.
[5] Fotocopy kitab “Al Mufassirun Hayatuhum Wa Manhajuhum” hlm. 304
[6]Al hafidz ibnu katsir, “tafsiru al qur’anu al ‘adhim”, beirut: maktabah nur ilmiyah, hlm. 4-6
[7] Bentuk
penafsiran adalah pendekatan dalam proses penafsiran, metode penafsiran
adalah sarana atau media yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan
penafsiran, dan corak penafsiran adalah tujuan instruksional dari suatu
penafsiran. (Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 388). Metode penafsiran sendiri terbagi menjadi dua, yaitu metode penafsiran bi al-ma’tsur dan metode penafsiran bi al-ra’yi. (Lihat Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003, hal. 118-119). Sementara corak
penafsiran terbagi menjadi tiga, yaitu corak umum, corak khusus, dan
corak kombinasi. (Lihat Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hal. 386-427)
[8] Muhammad Yusuf, MA. dkk, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks Yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004, hal. 136
[9] Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003, 206
[11] Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 389
[16] Lihat Didi Suryadi Ar. dalam Ahmad Taqiyuddin bin Taimiyah; Telisik Metodologi dalam Pemikiran, kumpulan tulisan dalam buku "Internalisasi Manhaj Ulama" (buku Maha Karya Generasi Muda Banten di Mesir, cet pertama, April 2008. KMB Mesir)
[17] H. Masyhud, Jurnal Penelitian Agama berjudul Pemikiran Ibn Taimiyah Tentang Metode Penafsiran Al-Qur’an Sebagai Upaya Pemurnian Pemahaman Terhadap Al-Qur’an, Purwokerto: STAIN Purwokerto, 2008, hal. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya