Jumat, 11 Mei 2012

USTADZ TERNYATA JUGA SERBA SALAH

TANYA : Apakah benar tidak diperbolehkan seseorang dipanggil dengan panggilan “ustadz” dengan alasan bahwa gelar “ustadz” merupakan istilah ikhwanul muslimin yang kerap diucapkan untuk memanggil para da’i dan penuntut ilmu?


JAWAB :
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه إلى يوم الدين
أما بعد:
Firqah “Al-Ikhwanul Muslimun” mulai didirikan pada tahun 1347 H, atau bertepatan dengan 1920 M, melalui seorang yang berasal dari Mesir yang bernama: Hasan Ahmad Abdurrahman Muhammad Al-banna As-Sa’ati, atau yang lebih populer dengan penyebutan: Hasan Al-banna. Ia mendirikannya bersama enam pemuda di daerah Isma’iliyah.
Para pengikut Al-Ikhwanul Muslimun sangat memuliakan sosok Hasan Al-Banna, bahkan diantara mereka ada yang mensifati Hasan Al-Banna dan kelompoknya sebagai kelompok yang terbebas dari berbagai kekeliruan dan penyimpangan, seperti ucapan salah seorang dari mereka mengatakan:
إن للإخوان صرحا كل ما فيه حسن لا تسلني من بناه إنه البنا حسن
“Sesungguhnya Al-Ikhwan memiliki bangunan tinggi (Jama’ah), yang semuanya didalamnya baik
Jangan engkau bertanya kepadaku siapa yang membangunnya, Sesungguhnya Ia adalah Al-Banna Hasan.”
Para pengikutnya biasa menyebutnya dengan “Ustadz hasan Al-Banna”, kadang pula disebut dengan “Syaikh Hasan Al-Banna”, dan sering pula disebut “Al-Imam Hasan Al-Banna”, dan tidak jarang diberi gelar “Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna”.
Bahkan penyebutan “Imam” lebih sering disematkan kepadanya dari penyebutan “Ustadz” atau “Syaikh”, hal ini disebabkan karena Ikhwaniyun (orang yang menisbatkan dirinya kepada Al-Ikhwanul Muslimun) ketika itu meyakininya sebagai Imam yang wajib untuk dibai’at oleh seluruh kaum muslimin.
(Lihat kitab : Al-Adhwa’ As-Salafiyah, Ummu Ayyub Nurah Bintu Ahsan,hal:15)

Sebagaimana tokoh-tokoh yang lain dari Al-Ikhwanul Muslimun juga kerap disebut dengan panggilan “Ustadz”, “Syaikh”, “Imam” atau mungkin yang lainnya. Namun perlu diketahui bahwa istilah-istilah tersebut bukanlah merupakan ciri khas Al-Ikhwanul Muslimun, yang manakala jika ada seseorang dipanggil dengan sebutan “ustadz”, atau “Syaikh”, atau “Imam”, berarti dia telah mengikuti kebiasaan “Hizbiyah Al-Ikhwanul Muslimun”. Siapa yang menganggapnya demikian, tentu saja hal ini merupakan salah satu statemen yang “nyeleneh”.

Mengenal istilah Al-Imam
Biasanya istilah ini disematkan kepada seseorang yang dijadikan sebagai panutan dan yang diikuti, baik dalam kebaikan atau keburukan. Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu Imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS.As-Sajadah: 24)
Demikian pula firman-Nya:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai Imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka, agar mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.”
(QS. Al-Anbiya’: 73)

Diantara dalil yang menunjukkan kata “Imam” digunakan dalam keburukan seperti firman Allah:
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ
“Perangilah imam- imam kekufuran.” (QS. At-Taubah: 12)
Dan firman-Nya:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ
“Kami jadikan mereka sebagai imam- imam yang menyeru kepada Neraka.” (QS. Al-Qashash: 41)

Didalam Islam, penyebutan Imam tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang pantas dijadikan sebagai panutan dalam berislam yang benar, baik dalam perkara aqidah, manhaj, fikih, mu’amalah, dan aspek kehidupan lainnya, dimana dia dikenal sebagai orang yang kokoh diatas kebenaran dan memiliki ilmu yang luas.
Oleh karenanya, menggunakan istilah imam kepada seseorang tanpa melihat kondisi orang tersebut apakah ia pantas mendapatkannya, merupakan hal yang kurang tepat. Diantara yang memberi peringatan dalam masalah ini adalah Al-Allamah Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin Rahimahullah, ketika disebutkan gelar “Imam” didepan nama Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, Beliau berkata:
“ini termasuk sikap memudah-mudahkan dalam sebagian perkara, sebab Al-Muwaffaq bukanlah seperti Imam Ahmad, atau Asy-Syafi’i, atau Malik, atau Abu Hanifah, namun Beliau seorang Imam dalam perkara tertentu, ada yang mendukung pendapatnya dan berpegang dengannya, sehingga dia disebut imam dari sisi ini. Adapun imamah (kepemimpinan) yang kedudukannya seperti yang dimiliki Imam Ahmad dan yang semisalnya, Beliau tidak sampai kepada tingkatan tersebut.

Pada masa-masa belakangan ini, semakin banyak penyebutan gelar “Imam” dikalangan manusia, bahkan gelar tersebut disematkan kepada yang terendah dari tingkatan para ulama. Hal ini, kalau hanya sekedar penggunaan lafazh semata, itu perkara yang ringan. Namun ternyata berpengaruh sampai kepada maknanya. Sebab seseorang, jika melihat ada yang diberi gelar imam, maka ucapan-ucapannya pun dijadikan sebagai qudwah (panutan), padahal dia orang yang tidak berhak mendapatkannya. Hal ini seperti ucapan mereka sekarang ini terhadap orang yang terbunuh dalam peperangan: bahwa dia mati syahid. Ini adalah haram, tidak diperbolehkan dipersaksikan kepada setiap orang secara individu bahwa dia mati syahid. Al-Bukhari Rahimahullah menyebutkan bab dalam permasalahan ini dengan : Bab: tidak boleh mengatakan: sifulan Syahid. Bersabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
والله أعلم بمن يجاهد في سبيله والله أعلم بمن يكلم في سبيله
“Allah lebih mengetahui siapa yang berjihad dijalan-Nya, Allah lebih mengetahui siapa yang terluka dijalan-Nya.”
Demikian pula Umar bin Khaththab Radhiallahu anhu melarang dari hal tersebut.
Iya, boleh disebut: siapa yang terbunuh dijalan Allah maka dia syahid, siapa yang terbunuh karena terkena reruntuhan, atau tenggelam maka dia syahid, namun tidak boleh dipersaksikan secara individu tertentu.” (Asy-Syarhul mumti’:1/16-17)

Walhasil, penyebutan Imam kepada seseorang yang layak merupakan hal yang hukumnya boleh, asal ditempatkan pada tempatnya. Jangan hanya karena Al-Ikhwanul muslimin terbiasa menyebut pemimpinnya dengan sebutan “Imam” lalu menghukumi itu sebagai kebiasaan ikhwani, lalu siapa yang melakukannya maka dia telah terjatuh kedalam hizbiyah, atau mengikuti kebiasaan hizbiyah. Namun hendaknya tidak terlalu memperluas dalam penggunaan istilah ini, seperti perbuatan sebagian mereka yang terlalu mudah memberi pujian kepada yang sepemikiran dengannya, bahkan terkadang pujian itu dinilai sangat berlebihan. Namun dalam menyikapi orang yang berselisih dengan mereka, terlalu mudah untuk melemparkan caci maki dan celaan yang mungkin kita tidak pernah mendengar yang sejenis cacian tersebut kecuali dari anak-anak jalanan, preman dan centeng pasar, adapun penuntut ilmu??, saya tidak mengira ada yang berbuat seperti itu.

Satu contoh saja, pernah kami diperlihatkan pamflet pengumuman pengajian yang akan diisi oleh “Imam Ahlus sunnah Wal-jama’ah”!!!. Wah luar biasa, dengan dasar apa diberi gelar “Imam Ahlus sunnah”?, apakah di indonesia ini sudah ada Imam ahlus sunnah wal jama’ah yang patut dijadikan sebagai panutan dalam segala hal, atau termasuk yang disebutkan oleh Ibnu Utsaimin Rahimahullah bahwa itu termasuk bermudah-mudahan dalam penggunaannya?. Kalaulah setiap Imam shalat boleh digelari “Imam” setiap namanya disebutkan, maka alangkah banyaknya para imam Ahlussunnah di negeri kita ini, wallahul musta’an.

Mengenal istilah “Syaikh”
Demikian pula istilah syaikh, ini merupakan penggunaan yang sangat masyhur, khususnya dizaman kita sekarang ini. Biasanya gelar ini diberikan kepada seseorang yang dihormati, dan dianggap memiliki keutamaan dan kelebihan dalam pengetahuan agamanya, meskipun terkadang pada hakekatnya tidak demikian. Seperti penyebutan “Syaikh Sayyid Quthub, Syaikh Umar Tilmisani, Syaikh Sa’id Hawwa”, dan yang lainnya dari penyebutan Al-Ikhwanul Muslimun dalam menghormati tokoh-tokohnya, merupakan hal yang sangat masyhur dari mereka. Namun bukan berarti yang menggunakan istilah ini dikalangan Ahlus sunnah Wal-jama’ah, dihukumi bahwa dia mengikuti kebiasaan Al-Ikhwanul Muslimun atau telah terjatuh kedalam hizbiyah.
Dikalangan Jama’ah Tabligh pun demikian, seringkali panggilan “Syaikh” diucapkan kepada sesama mereka, namun bukan berarti siapa yang menggunakannya dikalangan ahlus sunnah, berarti telah menyerupai kebiasaan jama’ah tabligh atau telah terjatuh kedalam hizbiyah.
Dikalangan Shufiyyah, juga istilah “Syaikh” merupakan istilah yang sangat populer untuk guru-guru atau yang mereka anggap sebagai Wali. Bahkan mereka menyebut Ibnu Arabi dengan sebutan “Asy-Syaikhul Akbar”. Namun bukan berarti jika istilah ini digunakan dikalangan ahlus sunnah, kemudian divonis tasyabbuh dengan mereka atau telah terjatuh kedalam bid’ah dan hizbiyah. Sebab jika demikian, begitu banyak ulama Ahlus sunnah yang terjatuh dalam penyimpangan karena seringnya mereka menyebut istilah ini kepada orang-orang yang mereka hormati.

Mengenal istilah “Ustadz”
Lalu bagaimana dengan istilah ustadz? Nah, inilah letak permasalahannya, yang dengannya sebagian ahlus sunnah dituduh mengikuti cara-cara al-ikhwanul muslimun dalam memanggil para da’inya. Benarkan demikian?. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:
-Suatu ketika, Imam Muslim bin Al-Hajjaj Rahimahullah mendatangi Imam Bukhari Rahimahullah lalu mencium diantara kedua mata Beliau, dan berkata :
دَعْنِي حَتَّى أُقَبِّلَ رِجْلَيْكَ يَا أُسْتَاذَ الأُسْتَاذِيْنَ وَسَيِّدَ المُحَدِّثِيْنَ وَطَبِيْبَ الحَدِيْثِ فِي عِلَلِهِ
“Ijinkan aku mencium kedua kakimu wahai “ustadz-nya para ustadz”, pemimpin para muhaddits, dan dokternya hadits dalam meneliti penyakit-penyakitnya.”
(Tarikh Baghdad: 13/102, taghliq at-ta’liq: 5/429, ma’rifatu uluumil hadits:114, An-Nukat Ala Ibnis shalaah: 2/717)
Perhatikan ucapan Imam Muslim “Ustadz-nya para ustadz” yang Beliau tujukan kepada Imam Bukhari, sangat nampak menunjukkan bahwa istilah “ustadz” dijaman Beliau merupakan istilah yang sangat populer, sehingga Beliau menggelari Imam Bukhari dengan sebutan “ustadz”. Makna dari ucapan Imam Muslim –Rahimahullah- adalah: “orang- orang yang disebut ustadz itu banyak, akan tetapi Engkau wahai Imam Bukhari adalah ustadz yang terbaik dalam hal ilmu dibanding ustadz- ustadz lainnya.”
Imam Muslim wafat pada tahun 261 H, bulan Rajab, hari Ahad sore, dan dimakamkan pada keesokan harinya. Bandingkan dengan awal mula didirikannya Al-Ikhwanul Muslimun ditahun 1347 H, mungkinkah Imam Muslim –Rahimahullah- atau Imam Bukhari –Rahimahullah- pernah terlibat dalam pergerakan Al-Ikhwanul Muslimun?, Orang yang berakal tentu saja akan menjawab: ada- ada saja.....
Tahukah anda dengan kitab “Ulumul hadits” karya Abu Amr Ibnus Shalaah –Rahimahullah Ta’ala, yang lebih dikenal dengan nama “Muqaddamah Ibnis Shalaah”, bagi seorang penuntut ilmu, terkhusus yang menggeluti ilmu mustalah hadits tentu kitab ini bukanlah kitab yang asing baginya. Pada halaman 144, tatkala Beliau menjelaskan tentang sahnya riwayat perawi yang sedang menulis sementara Syaikh Muhaddits sedang membacakan hadits riwayatnya, Ibnus Shalaah berkata:
“...dan Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfarayini Al-Faqih Al-Ushuli....”
Ibnus Shalah meninggal pada tahun 643H, kurang lebih 800 tahun sebelum pendiri Al-Ikhwanul Muslimun lahir kedunia ini.
Kenalkah anda dengan kitab “Al-Ba’its Al-Hatsits Syarah Ikhtishar Uluumil hadits”, karya Al-Hafizh Al-Mufassir Ibnu Katsir Rahimahullah?, seorang pemula dalam menuntut ilmu hadits tentu saja mengenal kitab yang sangat masyhur ini. Ketika Al-Hafizh Ibnu Katsir membahas tentang hukum “Mursal shahabah” , Beliau mengatakan:
“...dan mazhab ini dihikayatkan pula dari Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Isfarayini..... “
(Al-Ba’its:58).
Al-Hafizh Ibnu Katsir meninggal tahun 774, lebih 600 tahun, jauh sebelum munculnya pergerakan Al-Ikhwanul Muslimun.
As-Suyuthi, dalam muqaddimah kitabnya “Al-Itqan fii Uluumil qur’an” menyebut salah seorang gurunya yang bernama Abu Abdillah Muhyiddin Al-Kafiji dengan sebutan “Ustadz al-ustadzin”, yang artinya ustadznya para ustadz.
(Al-Itqan,As-Suyuthi:1/4)
Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuthi Rahimahullah, meninggal dimalam jum’at diwaktu sahur, tanggal 19 jumadal Ula, tahun 911 H, 400 tahun lebih, jauh sebelum didirikannya Al-Ikhwanul Muslimun. Kapankah As-Suyuthi Rahimahullah terlibat dalam gerakan Al-Ikhwanul Muslimun, sehingga Beliau memanggil gurunya dengan penyebutan ustadz?

Sesungguhnya masih banyak dan masih banyak lagi penyebutan istilah ustadz yang biasa digunakan oleh para ulama terdahulu, jauh sebelum Al-Ikhwanul Muslimun terlahir ke dunia ini. dan apa yang kami sebutkan ini ibarat setetes air bila dibandingkan dengan air laut yang demikian luas. Kalaulah kami harus menyebutkan dari setiap kitab penggunaan para ulama terhadap istilah ini, mungkin kami membutuhkan dua jilid kitab untuk menyelesaikannya, bahkan mungkin lebih.....

Sebagai faedah...
Salah satu cara para ulama salaf terdahulu, jika ingin menyingkap kedustaan para perawi yang berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, tatkala diantara mereka ada yang mengaku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan mendengar langsung darinya, atau mengaku bertemu dengan salah seorang sahabat, atau bertemu salah seorang perawi, dan yang semisalnya, maka ketika para Ulama al-jarah wat ta’dil hendak meneliti kebenaran berita dari perawi tersebut, mereka menggunakan “perhitungan waktu dan masa hidup” untuk membandingkan apakah memungkinkan terjadi pertemuan antara kedua periwayat hadits tersebut. Jika tidak, maka dipastikan bahwa pengakuan itu hanya merupakan dusta belaka.
Berkata Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah:
لما استعمل الرواة الكذب استعملنا لهم التاريخ
“Tatkala para perawi menggunakan cara dusta, kami menggunakan “perhitungan waktu” untuk mereka.”
(Al-Kifayah fii Ilmir Riwayah,Al-Khathib Al-Baghdadi:119)
Dengan melihat perhitungan waktu, tersingkaplah kedustaan sebagian kaum, semoga kita semua bisa mengambil pelajaran darinya.
Wallahul Muwaffiq.


Ditulis oleh: Abu Muawiyah Askari bin Jamal
9 shafar 1433 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya

Pages - Menu