Minggu, 09 September 2012

Menyikapi Bid'ah

(Kaidah-Kaidah Penerapan Hajr (Boikot) terhadap Ahli Bid’ah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah


(Menyikapi Sejumlah Kesalahan Penerapan Hajr di Indonesia, penulis Al Akh Firanda Ibnu ‘Abidin Abu ‘Abdil Muhsin as-Soronji, hal 8, tanpa penerbit [3] ).

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

ليس كل خلاف جاء معتبرا
إلا خلاف له حظ من النظر

“Tidak semua khilaf yang datang itu bisa dianggap
Kecuali jika khilaf tersebut memiliki sisi pandang”

Bila kita telah memahami masalah ini, maka disaat kita mendapati adanya permasalahan yang diperselisihkan di kalangan para Ulama, maka sikap pertama bagi seorang muslim adalah menimbang masalah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan pemahaman Salafus Soleh. Sebagaimana firman-Nya:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥۹﴾ [النساء: ٥۹]


Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [QS An Nisaa: 59]

Dan firman-Nya:


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا ﴿۳٦﴾ [الأحزاب: ۳٦]


Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [QS Al Ahzaab: 36]

Dan firman-Nya:


فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٦٥﴾ [النساء: ٦٥]


Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS An Nisaa: 65]

Dan nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam perkara ini masih sangat banyak.
Maka jika muncul satu pendapat dari seorang alim atau yang lainnya yang menyelisihi nash yang shorih (jelas), maka bukanlah hal yang tercela apabila pendapat tersebut diingkari dan diperingatkan umat (tahdzir), agar mereka menjauhi pendapat itu. Bahkan hal itu termasuk dalam nasehat yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam sabdanya:

(( الدين النصيحة))

“Agama itu adalah nasehat”
(HR.Muslim dari Abu Ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-Dari Radiyallahu ‘anhu ).

Oleh karenanya masih saja para Ulama mengeluarkan bantahan-bantahannya dan memperingatkan umat dari bahayanya mengambil suatu pendapat, yang telah jelas menyelisihi apa yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya

Pages - Menu