Selasa, 07 Oktober 2014

KISAH KASIH BHISMA DEWABRATA DAN DEWI AMBA


Bhisma adalah sosok ksatria sejati dalam epos Mahabrata. Awal cerita Mahabrata ditandai dengan kisah kelahirannya, sedang dalam akhir cerita Bharatayuda ditandai dengan kisah kematiaanya. Selama masa hidupnya Bhisma tampil sebagai penjaga kerajaan Astina, sehingga walaupun sempat dipimpin oleh raja-raja yang tidak kompeten, Astina tetap menjadi suatu negara yang besar dan disegani oleh negara-negara lainnya.

Bisma (Bhīshma) merupakan putra dari Prabu Sentanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga, nama aslinya sejak kecil adalah Dewabrata (Dévavrata) yang berarti keturunan Bharata yang luhur.

Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Ia tinggal di pertapaan Talkanda. Dia merupakan seorang Resi yang sakti, berwatak satria, dapat dipercaya, sabar, serta pemberani. Dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina, ia rela tidak menjadi raja.

Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti nama menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa.

Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa/Byasa, yang ditemuinya di dekat Sungai Yamuna. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.

Untuk menjadi suaminya, sang putri pun mengajukan persyaratan bahwa kelak anak-anaknya lah yang berhak untuk menjadi raja di Astina. Prabu Santanu pun menolak syarat ini, mengingat dia telah menetapkan bahwa Dewabhrata lah putra mahkota Astina. Tetapi setelah itu dia menjadi sakit karena selalu teringat akan sang putri.

Saat masih muda, Dewabrata merupakan putra mahkota dari kerajaan Astina. Prabu Santanu mengirim Dewabhrata untuk berguru pada ksatria-ksatria dan resi-resi ternama untuk dididik ilmu ketatanegaraan, rohani, militer dan kanuragan. Di antara para gurunya adalah Resi Bhraspati. Resi Sukra, Resi Markandya, dan Resi Wasista. Dewabhrata pun tumbuh menjadi seorang lelaki yang sakti dan berilmu tinggi.

Suatu saat tibalah hari dimana Dewabrata akan diangkat menjadi raja Astina menggantikan sang ayah Prabu Sentanu. Namun Dewi Durgandini membawa anaknya lalu berbicara pada Prabu Sentanu.

"Kakanda Prabu, ingatkah dulu siapa yang menolongmu saat terluka di hutan? Akulah orangnya lalu anak yang kubawa ini adalah putramu,
Dulu engkau pernah berkata : 'mintalah apapun, pasti akan kupenuhi' namun aku tak meminta apapun, kita hanya bercinta waktu itu dan anak inilah yang kubawa adalah putramu", lanjut Durgandini.
"Lalu sekarang apa maumu ?" jawab sang Prabu Sentanu.
"Pintaku, Jadikan dia Raja!" kata Durgandini dengan permintaannya yang setengah memaksa Prabu Sentanu.

Dewabrata sadar bahwa Ayahnya tidak dapat memungkiri janjinya, maka dengan lapang dada, Ia menyerahkan takhta Astina pada adik Tirinya. Namun Durgandini berkata lagi, "Aku mempercayai ketulusan Dewabrata mau memberikan Takhta Astina pada puteraku, tapi bagaimana dengan keturunannya nanti? Akankah anak-anaknya akan menjadi Raja juga?" Tanya Durgandini dihadapan Dewabrata yang menjadi Ibu tirinya sekarang.

Sebagai seorang anak yang berbakti Dewabhrata bersedia melepaskan mahkota kerajaan untuk adiknya nanti. Tetapi Prabu Santanu mengkhawatirkan akan terjadi pertentangan antara keturunan Dewabhrata dengan keturunan raja (adik tirinya) dan menimbulkan pertumpahan darah. Karena cintanya kepada kerajaan dan Ayahnya, Dewabrata bersumpah untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya mati. Sumpah ini dikenal dengan sumpah Brahmacahya. Gemparlah seluruh jagad raya, dan sejak saat itu ia dikenal dengan nama Bisma yang berarti 'menggemparkan'. Suatu sumpah yang kelak akan disesalinya sendiri. Bukan karena harus hidup membujang, tapi karena justru keturunan Dewi Durgandini sendiri yang menyeret Astina pada suatu perang saudara yang besar, Bharatayuda. Atas ketulusannya ini, Prabu Santanu menganugrahi Dewabhrata suatu mantra, 'Aji Swacandomarono' yaitu aji mantra dimana ia bisa mati hanya atas kemauannya sendiri dengan memilih sendiri hari kematiannya.

Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Waktupun berlalu, hingga suatu ketika Bisma mengikuti sayembara di Kerajaan Kasi untuk mendapatkan 3 Putri dari Kerajaan tersebut lalu akan dijadikan permaisuri bagi adik tirinya, Wicitrawirya, raja Hastinapura. 3 putri tersebut adalah Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika.

Sudah menjadi tradisi, bahwa kerajaan Kasi akan memberikan putrinya kepada pangeran keturunan Kuru. Namun, saat Wicitrawirya mewarisi takhta Hastinapura, tradisi itu tidak dilaksanakan. Kerajaan Kasi mengadakan sayembara untuk menemukan jodoh para puterinya. Bisma kemudian datang mengikuti sayembara itu, dan ia berhasil mengalahkan semua peserta yang ada, termasuk Raja Salwa, yang sebenarnya sudah dipilih Amba untuk menjadi suaminya. Namun hal itu tidak diketahui Bisma, dan Amba pun tidak berani untuk mengatakannya.

Bersama dengan Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Ambika dan Ambalika akhirnya menikah dengan Wicitrawirya, namun tidak dengan Amba. Hatinya sudah tertambat kepada Salwa, dan ia pun mejelaskan bahwa sebenarnya ia sudah memilih Salwa untuk menjadi suaminya. Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik menikah dengan wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain, dan ia akhirnya mengizinkan Amba untuk pergi menghadap Salwa.

Amba kemudian pergi menghadap Salwa, namun apa yang ia dapatkan ternyata tidak sama dengan yang menjadi harapannya. Salwa menolaknya, karena ia enggan menikahi wanita yang telah direbut darinya. Salwa merasa, Bisma lah yang pantas menikah dengan Amba, karena Bisma yang telah mengalahkan dirinya.

Dengan rasa malu dan kecewa, Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma juga menolaknya, karena Bisma telah berjanji bahwa ia tidak akan menikah seumur hidup. Hidup Amba akhirnya terkatung-katung di hutan, dalam hatinya timbul kebencian terhadap Bisma, orang yang telah memisahkannya dari Salwa dan membuat hidupnya menjadi tidak jelas.

Di dalam hutan, ia bertemu dengan Resi Hotrawahana, kakeknya. Amba menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Setelah mendengar masalah sang cucu, resi Hotrawahana meminta bantuan Rama Bargawa atau Parasurama, guru Bisma untuk membujuk Bisma agar menikah dengan Amba.

Namun, bujukan Parasurama juga terus ditolak oleh Bisma, hingga sang guru marah dan menantang untuk bertarung. Pertarungan antara guru dan murid itu berlangsung sengit, dan baru diakhiri setelah para dewa menengahi permasalah tersebut.

Amba pergi berkelana dan bertapa memuja para dewa, memohon agar bisa melihat Bisma mati. Sangmuka, putera dewa Sangkara, muncul dan memberi kalung bunga kepada Amba. Ia berkata, bahwa orang yang memakai kalung bunga tersebut yang akan menjadi pembunuh Bisma.

Setelah mendapat kalung bunga dari Sangmuka, Amba berkelana mencari ksatria yang bersedia memakai kalung bunganya. Tidak ada seorang pun yang mau memakai kalung bunga tersebut meskipun itu pemberian dewa, jika mengetahui lawannya adalah Bisma. Begitu juga dengan Drupada, raja kerajaan Panchala, ia juga takut jika harus melawan Bisma. Amba mencapai puncak kemarahannya dan melemparkan kalung bunga itu ke tiang balai pertemuan Raja Drupada.

Dengan penuh rasa kebencian terhadap Bisma, Amba melakukan tapa, dalam pikirannya, ia hanya ingin melihat Bisma mati. Melihat ketekunan Amba, Dewa Sangkara muncul dan berkata bahwa Amba akan bereinkarnasi sebagai pembunuh Bisma. Setelah mendengar pemberitahuan sang dewa, Amba membuat api unggun, lalu membakar dirinya sendiri.

Namun, dalam versi lain disebutkan bahwa kematian Amba adalah karena ketidaksengajaan Bisma. Ketika Usai Sayembara, Dewi Amba ternyata telah jatuh cinta pada Bisma. Untuk menjauhi Amba, Bisma lebih memilih untuk mengembara. Namun, Amba selalu mengikuti kemanapun Bisma pergi, hingga suatu ketika Amba memberanikan diri menemui Bisma:
"Mengapa kau mengikuti sayembara kerajaan jika kau tak mau menikah bersamaku?", tanya Dewi Amba.

"Aku mengikuti sayembara untuk adik tiriku, karena kau akan jadi permaisurinya", jawab Bisma.

"Tapi aku hanya mencintaimu dan ingin hidup bersamamu Bisma" Dewi Amba bersikeras atas perasaan hatinya.

"Amba, Maafkanlah aku..., (terus menghindari Amba dengan melepas peluk dan cium mesra Amba), aku tidak mungkin bersamamu dan menikahimu, aku telah bersumpah Brahmacahya, tak akan ingkar sumpahku demi Kerajaan Astina, aku tak akan menikah hingga aku mati" jawab Bisma.

Tapi Dewi Amba terus membujuk memanja, memohon, memaksa memeluk dan menciuminya agar Bisma mau menikah dengannya dan bukan dengan adik tiri Bisma. Bisma menjadi bertambah bingung, Ia terus mencoba menjauhi Amba, lalu mengeluarkan Busur Panahnya untuk sekedar menakut-nakuti Dewi Amba, agar Amba pergi darinya.
“Sudahlah Amba, tolong jangan mendekat lagi, Atau aku tak akan segan-segan panah ini membunuhmu jika terus memaksaku.”
Amba tidak takut dengan ancaman Bisma, ia berkata bahwa, “Baiklah, (sambil memejamkan mata) Cepat Bunuhlah aku, lebih baik aku mati dengan Bahagia di tanganmu, dari pada harus menanggung malu kembali ke kerajaan Kasi ataupun Hastinapura.” Bisma pun terdiam lama mendengar perkataan Amba yang pasrah. Dan karena terlalu lama ia merentangkan busur panahnya, membuat tangannya lemas bergetar berkeringat, tanpa sengaja, anak panah itu terlepas dari busurnya dan menembus dada Amba. Karena tidak disengaja, Bisma segera berlari memeluk erat dan membalut luka Amba dengan jubahnya sambil menangis tersedu-sedu. “Ambaaaa..., Maafkan aku, Amba... sejujurnya aku menginginkanmu.., Tolong bertahanlah Amba (terus membasuh luka darah di dada Amba yang sekarat), Maafkan...maafkan aku..” Namun, sebelum Amba menghembuskan napas terakhirnya, ia berpesan kepada Bisma, “Bismaaaaa...(ucapnya lirih), ingatlah..., aku bersumpah terlahir (reinkarnasi) sebagai anak Raja Drupada, akan ikut dalam perang Pandawa dan Korawa, dan aku sendiri yang akan membunuh dan menjemput kematianmu nanti..., Bismaa..., kita akan bersama selamanyaa...” (nafasnya pun terhenti, Amba tiada). “Yaa Amba (air mata terus meleleh), aku akan menunggumu..., aku siap mati dijemput olehmu..” jawab Bisma dengan rasa berdosanya. “AMBAAAAAA....!!!!!!” (Teriakan perih duka di hati Bisma, memecah hutan yang sunyi nan sendu diselimuti kabut dengan hujan gerimis yang turun seketika dari langit.)

Bertambah kalutlah perasaan Bisma mengetahui Amba yang ia cintai mati ditangannya sendiri. Namun apalah daya seorang Bisma, ia tetaplah ksatria, ia harus setia dengan sumpahnya. Bisma diselimuti perasaan bersalah karena telah memberikan harapan palsu pada Dewi Amba dan membuat seumur hidupnya menjadi kacau hingga kematiannya.

Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Byasa, putra Durgandini dari suami pertama. Byasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Drestarata, orangtua Pandawa dan Korawa.

Roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha. Lahirlah Srikandi anak Raja Drupada dari kerajaan Panchala yang merupakan reinkarnasi dari Amba. Srikandi adalah istri Arjuna, penengah Pandawa. Meskipun ia seorang wanita tetapi ia terampil dalam ilmu keprajuritan terutama ilmu memanah yang diajarkan Arjuna kepadanya. Srikandilah yang bersedia mengambil dan memakai kalung bunga Dewa Sangkara, dan itu berarti ia lah yang akan menjadi penyebab gugurnya Bisma.

Demi janjinya membela Astina, Bisma tampil saat perang Baratayudha, Bisma menjadi panglima Kurawa, sebab ia menepati janjinya akan melindungi Astina siapapun yang menjadi Rajanya. Walau di dalam hatinya Bisma tidak pernah setuju pada perbuatan dan tindakan para Kurawa.

Bisma yang sakti tak terkalahkan, semua panah, pedang dan tombak tidak ada yang mampu menembus tubuhnya yang sakti, semua rontok seperti rambut yang berjatuhan, dengan mudahnya Ia berhasil mengalahkan Seta ditepi Sungai Gangga, serta mengangkat dan melempar tubuh Drestajumna keluar dari pagar garis medan pertempuran.

Pada Malam harinya, Kresna yang sudah kehabisan akal mengajak Arjuna mengunjungi tenda Resi Bhisma. Berkat Aji Halimunan yang dimiliki oleh Arjuna, keduanya berhasil memasuki tenda Resi Bhisma tanpa diketahui oleh para pengawal Kurawa (tidak seperti Burisrawa, sebagai seorang ksatria sejati, Arjuna tidak menggunakan ajiannya ini pada saat berperang). Kresna membujuk Resi Bhisma untuk mengalah, Resi Bhisma tersenyum. Tetapi Bhisma menyadari di tangan Pandawa dan penerusnya, Astina akan mendapatkan kejayaan. Bhisma mengakui Laksmana mandarakomara, anaknya Suyudana, sebagai seorang yang tidak pantas menjadi raja. Bhisma juga menyadari bahwa dia jugalah yang menjadi hambatan besar bagi Pandawa untuk meraih kemenangan. Selain itu Bhisma juga terpengaruh oleh pernyataan Kresna yang menyatakan selama ini Bhisma tidak adil dengan menjadi pelindung Kurawa dan melalaikan Pandawa. Resi Bhisma dinilai tidak membela sama sekali saat Pandawa terusir dari negerinya, juga saat Dewi Drupadi, istri Yudistira mendapat penghinaan dari orang-orang Kurawa. Resi Bhisma terus berdalih bahwa dia selama ini tinggal di padepokannya yang jauh dari Astina Pura. Tetapi dalam hatinya mengakui bahwa dia telah menelantarkan para Pandawa. Akhrinya, Bhisma memberi petunjuk bahwa dia pantang menyerang seorang perempuan, maka tampilkanlah seorang perempuan untuk melawannya dan menjadi perisai bagi Arjuna.

Esok harinya, hari ke-10 Bharatayuda, Kresna menampilkan Srikandi, istri Arjuna, untuk mendampingi suaminya menghadapi Resi Bhisma. Pertimbangannya, Srikandi sangat mahir menggunakan panah. Kutukan Amba akhirnya memang menjadi kenyataan, saat perang akbar di Kurusetra, Srikandi turut terjun ke medan laga. Ia berhadapan dengan Resi Bisma. Saat Dewi Srikandi sudah berhadapan dengan Eyang Bisma. Dewi Srikandi berkali-kali dipukul oleh Resi Bisma, namun tidak membalas sedikitpun, entah kenapa Srikandhi merasa seperti pernah mengenal Bisma. Tiba-tiba Resi Bisma pun teringat, waktu memandang Dewi Srikandhi, seperti berhadapan dengan Dewi Amba. Ketika menatap dekat Srikandi, Resi Bhisma terkejut seketika, menyadari sepenuhnya, Srikandi adalah titisan Dewi Amba, di mata Resi Bhisma sekejap yang terlihat adalah wajah Dewi Amba seutuhnya. Pada saat memberitahu Kresna dan Arjuna semalam, Resi Bhisma tidak menyangka bahwa yang akan tampil adalah seorang titisan Dewi Amba. Dia melihat jiwa Dewi Amba berada pada raga Srikandi, pada saat itulah ia menyadari bahwa waktunya telah tiba, Amba telah datang menjemputnya. “Ambaa... kasihku, cintaku, engkaukah itu?”(Dalam hatinya terus bertanya kalut, merasa bersalah menyesal seumur hidupnya). Resi Bisma berdiam lama teringat dalam lamunannya, waktu Dewi Amba dengan manja memeluk dan mencium, menggoda paksa mempesona dihadapannya.

Melihat situasi yang sedemikian rupa, Prabu Kresna langsung memerintahkan Dewi Srikandi untuk memanah Resi Bisma, Dewi Srikandi segera memanah Resi Bisma, panahpun dengan cepat melesat kearah Resi Bisma. Betapa bahagianya ia, ketika panah Pasopati milik Arjuna diluncurkan oleh Srikandi.

Dengan cepat Arjuna membantu Srikandhi melayangkan serbuan anak panah lagi disertai dengan kekuatan tinggi mendorong panah Srikandi agar cepat mengenai dada Resi Bisma. Dengan seketika hujan panah itu begitu ajaibnya langsung tertancap di dada Resi Bisma, seolah pertanda sumpahnya telah tercabut, tubuh Bisma pun jatuh ke bumi di Tegal Kurusetra. Bisma merasakan bahwa inilah saatnya ia terlepas dari tanggung jawab sumpahnya sendiri dan ia bisa menjalin cintanya yang sempat tertunda di kehidupan selanjutnya.

Alhasil, tubuh Resi Bhisma pun dipenuhi oleh anak panah. Tubuhnya tidak menyentuh tanah karena tersangga oleh panah-panah yang menancap, hanya kepalanya yang tidak terkena anak panah, menjuntai. Melihat Resi Bhisma roboh, peperangan mendadak terhenti. Arjuna melompat dari keretanya dengan menangis menghampiri Resi Bhisma.

Resi Bhisma tidak segera mati. Dia mempunyai kesaktian untuk menentukan hari matinya. Pandawa, Kurawa serta para pini sepuh mendatangi Resi Bhisma. Resi Bhisma berkata bahwa dia butuh bantal untuk menyangga kepalanya. Suyudana segera menyuruh para Kurawa mengambil bantal yang empuk dan indah, berupa tilam bersulam emas dari Istana Astina. Tapi Resi Bhisma menolaknya seraya memanggil Arjuna. Arjuna mengerti maksudnya, dia segera melepaskan tiga buah anak panah yang menancap di tanah sedemikian rupa yang membentuk penyangga kepala Resi Bhisma. Sedangkan Werkudara memberikan perisai-perisai perajurit yang telah gugur untuk menyelimuti Resi Bisma. Pandawa juga membuatkan penutup kelambu untuk menghormati Resi Bisma. Kemudian Resi Bhisma meminta minum. Suyudana segera menyuruh para Kurawa menyediakan minuman buah-buahan yang lezat. Resi Bhisma kembali menolaknya dan meminta Arjuna menyediakan minuman baginya. Arjuna mengambil satu anak panah lagi dan dengan mantranya panah itu dilepas ke tanah yang dari tempatnya menancap muncullah semburan air yang menyiram muka Resi Bhisma. Setelah terpuaskan dahaganya, semburan air itu pun berhenti. Resi Bhisma berkata bahwa dia ingin menyaksikan Bharatayuda sampai akhir. Medan pertempuran pun digeser agar tidak mengganggu Resi Bhisma. Bharatayuda dilanjutkan.

Hanya delapan hari setelah kekalahan Resi Bhisma, Bharatayuda usai. Pandawa muncul sebagai pemenangnya. Pandawa kembali mengunjungi Resi Bhisma, bersama ibu mereka, Dewi Kunti Nalibrata, Sri Kresna dan Prabu Baladewa. Sebelum meninggal Resi Bhisma berpesan kepada Yudistira untuk tidak mengesampingkan kepentingan negara demi kepentingan lainnya. Bahkan meskipun itu demi kepentingan suatu sumpah yang suci.

Menjelang di akhir perang Bharatayuda, Srikandhi dibunuh saat tertidur lelap di tenda peristirahatan oleh Aswatama yang menyusup mencari bayi Parikesit. Roh Srikandhi pun kembali dalam wujud Dewi Amba yang telah menanti Bisma (sesaat itu pula Bisma pun tiada, Ia menghembuskan napas terakhirnya saat garis balik matahari berada di utara, Uttarayana), dengan tersenyum dan akhirnya arwah mereka bahagia, Bisma dan Amba bersama-sama bergandengan tangan menuju kehidupan selanjutnya. Bisma gugur sebagai ksatria sejati.

Demikianlah cerita Resi Bhisma Dewabhrata, orang yang paling dihormati dalam epos Mahabrata. Resi Bhisma adalah ahli strategi Perang yang handal, tipe lelaki yang lurus, cakap, tangguh, disiplin, jujur, penuh tanggung jawab, bijaksana dan berdedikasi tinggi. Walaupun tidak menjadi raja, dia tetap seorang pemimpin. Diantara sekian banyak ksatria keturunan Kuru Dialah putra terbaiknya. -TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya

Pages - Menu