Jumat, 13 April 2012

I (SATU)

Satu Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya ia putuskan untuk memulai hari dengan pergi ke tempat temannya. Letaknya tak begitu jauh dari tempat dimana ia tinggal. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, hanya membutuhkan waktu seperempat jam saja untuk bisa sampai di tujuan. Tas kecil ungu yang selalu setia menemani kemanapun ia pergi tak lupa ia bawa, meski dalam tas kecil itu hanya berisi cricket, rokok filter batangan, buku kecil dan sebuah balpoint yang ia gunakan untuk sekedar menulis nomor-nomor telepon temannya, jadwal kuliah, jadwal kegiatan organisasi dan untuk menuliskan beberapa bait kata mutiara, juga bait-bait puisi atau kata-kata cinta yang akhirnya menjadi lirik lagu setelah melalui sedikit proses perubahan. Namun tak sedikit juga bait kata yang harus berakhir di tong sampah. Hari masih terlalu pagi untuk seseorang pergi bertamu, namun ia pikir orang yang akan di kunjungi adalah kawan dekat yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Ia pikir tak menjadi masalah jika sepagi ini menclok di tempatnya untuk sekedar ikut nimbrung minum kopi dan sarapan pagi seperti yang sering ia lakukan jika kiriman uang dari orang tua di kampung halamannya terlambat diterima. Karena Rendy kawannya pun akan melakukan hal sama apabila terlambat menerima uang kiriman dari orang tuanya. Rendy akan menclok di tempat kost Rhaka untuk membantunya menghabiskan sarapan pagi dan minum kopi bersama. Meski Rendy terbilang berasal dari keluarga berkecukupan, namun sama saja seperti kawan – kawan lainnya, meratapi kesedihan andai kiriman dari orang tuanya terlambat ia terima. Di ujung jalan Rhaka berpapasan dengan Rendy, yang saat itu bermaksud pergi ke warung pak Taslam untuk membeli nasi bungkus yang biasa ia santap setiap pagi sebelum berangkat ke kampus. Selain murah, nasi bungkus pak Taslam cukup sehat untuk dikonsumsi. Tempatnya bersih, orangnya juga ramah pada tiap pembeli. Dan nasi bungkus pak Taslam memiliki keistimewaan lainnya, yaitu bisa dikredit tanpa agunan dan tak berbunga. Selesai bertegur sapa, mereka berdua bergegas menuju warung pak Taslam. Rendy menerima nasi bungkus yang di sodorkan anak pak Taslam kepadanya. Dengan senyum khas jurus pemikat kaum wanita, Rendy menyerahkan sehelai uang sepuluh ribuan pada anak pak Taslam yang dibalas senyum manis. Mereka berbincang sebentar sambil menunggu uang kembalian. Entah apa yang dibicarakan mereka berdua. Selesai transaksi jual beli nasi bungkus, Rendy dan Rhaka segera pergi meninggalkan kerumunan orang yang tengah lahap menikmati hidangan makanan racikan apik keluarga pak Taslam. Beberapa saat kemudian keduanya pun sampai di tempat kost Rendy. Tanpa pikir panjang lagi mereka membuka bungkusan nasi dan langsung menyantapnya dengan lahap. Rhaka dan Rendy telah berkawan sejak mereka bertemu dalam kegiatan rutin Universitas yang diselenggarakan setiap setahun sekali, yaitu penerimaan mahasiswa/i baru. Mulai saat itulah keduanya berkawan dan akhirnya bersahabat. Meski mereka berlainan fakultas, tapi tak menjadi penghalang bagi keduanya untuk saling berkomunikasi dan menjalin pertemanan. Rhaka adalah mahasiswa fakultas ekonomi, dan Rendy mahasiswa fakultas hukum. Rhaka memilih Kumpulan Seni Mahasiswa (KSM) yang merupakan organisasi internal kampus sebagai sarana penyalur hobinya dalam berkesenian, dan bergabung di Himpunan Mahasiswa Ekonomi (HME) sebagai sarana untuk berorganisasi dan berkumpul, guna menuangkan gagasan, ide dan pemikirannya. Sementara Rendy memilih bergabung dengan Kumpulan Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA), dan tergabung pula di Himpunan Mahasiswa Hukum (HMH). Pikir keduanya lebih baik mereka bergabung dengan organisasi internal kampus tersebut daripada harus memilih Resimen Mahasiswa (Menwa) yang tak puguh juntrungannya, sedangkan di kampus telah tersedia satpam yang sudah jelas tugas dan fungsinya sebagai penjaga keamanan kampus. Para senior di kampusnya pun lebih menganggap keberadaan menwa tidak lebih sekedar untuk memata-matai aktivitas mahasiswa/i yang sering kali mengkritisi kebijakan pemerintah. Nasi bungkus yang di dapat dari warung pak Taslam pun telah berpindah tempat, mengisi kekosongan perut yang mulai bernyanyi sejak ia bangun pagi tadi. Tanpa dikomando Rendy menuangkan air panas dalam termos ke dalam gelas yang telah dihiasi beberapa sendok teh gula putih dan bubuk kopi yang ia beli sebulan sekali di mini market atau dipasar yang letaknya tak jauh dari tempat ia ngekost. Satu gelas ia sodorkan pada Rhaka, dan Rendy mulai membuka pembicaraan. “Ka, bulan depan aku akan ikut acara pelantikan anggota baru KMPA di Jayagiri. Rencananya kami akan mengundang semua organisasi internal kampus untuk hadir pada pembukaan acara tersebut. Aku dan beberapa kawan akan pergi kesana sebelum acara pembukaan pelantikan untuk mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Jika tak keberatan aku minta kau untuk ikut denganku pada saatnya nanti.” Rhaka berpikir sejenak, lalu membuka tas kecil ungu dan membuka buku kecil yang biasa ia bawa. “Kemungkinan aku akan ikut jika tidak ada perubahan acara mendadak”. Wajah Rendy terlihat berseri-seri mendengar jawaban Rhaka mengenai ajakannya untuk ikut dalam persiapan acara pelantikan yang akan diselenggarakan organisasinya. Rhaka dan Rendy meneguk kopi yang tadi dibuat. Pembicaraan pun mereka lanjutkan kembali. “Hari ini aku mungkin tidak akan mengikuti perkuliahan Ren. Ada pertemuan yang harus ku hadiri di sekretariat KSM di kampus dua. Aku minta kau berikan surat ini, atau kau titipkan saja ke teman satu kelasku. Kau sudah tahu dimana mereka bisa kau temui”. Ucap Rhaka pada Rendy. Kemudian ia meletakkan surat ditumpukan buku diatas meja belajar yang tak jauh darinya. Suasana hening sejenak. Rhaka menarik nafas dalam-dalam. Sementara Rendy menatap sahabatnya dengan pandangan penuh tanya. Apa kiranya yang sedang dipikirkan temannya ini. Namun Rendy tak berusaha untuk menanyakannya, karena Ia tak mau menebak-nebak apa yang sesunggunya tengah ia pikirkan. Seperti ada ikatan batin diantara kedua sahabat tersebut, Rendy pun mengerti makna yang tersirat di wajah sahabatnya. Sesaat kemudian Rhaka mengutarakan apa yang kini sedang ada dalam pikirannya. “Aku masih khawatir tentang pertunjukan teater yang akan dilaksanakan minggu depan. Belum lagi pementasan kabaret, festival tari jaipong dan pentas musik yang akan dilaksanakan dua hari setelah pementasan teater. Anggaran yang dibutuhkan untuk pementasan tersebut sepertinya belum mencukupi untuk menutupi semua kegiatan. Sedangkan dana yang kami dapat dari pihak Universitas begitu terbatas, begitupun dana dari Pemerintah Daerah jumlahnya tak seperti yang kami harapkan. Proposal kegiatan menumpuk dimeja staf pegawai Pemda. Beruntung proposal kegiatan kami sudah diberi disposisi oleh pimpinannya, meski untuk mencairkan dananya kami harus menunggu beberapa hari, dengan alasan anggaran untuk memenuhi kegiatan-kegiatan tersebut belum dicairkan. Hingga hari ini tiket untuk pertunjukan teater yang kami sebarkan ke kampus-kampus dan sanggar-sanggar teater baru terjual setengahnya dari jumlah tiket yang kami berikan, itupun belum disetorkan semuanya ke bendahara kegiatan. Aku sangat berharap beberapa sponsor akan menepati janjinya untuk memberikan bantuan berupa uang tunai, tidak hanya berupa produk dari perusahaannya seperti yang telah kami terima seminggu yang lalu. Jika sesuai rencana, kami akan mendatangi pihak sponsor besok siang untuk mengambil dana tersebut. Kemungkinan besar pertemuan hari ini akan membahas persoalan-persoalan itu. Jadi setelah aku pikirkan, aku memutuskan untuk menghadiri pertemuan”. Rendy manggut-manggut mendengar penuturan sahabatnya. Ia mengerti apa yang sedang dirasakan dan menjadi pikiran sahabatnya. Di teguknya kembali kopi yang masih terasa hangat. Rhaka mengeluarkan dua batang rokok filter dalam tas kecil yang ia beli diwarung pinggiran jalan saat dalam perjalanan menuju tempat kost sahabatnya. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Sudah hampir dua jam ia mengobrol kesana kemari di tempat kost Rendy. Sinar matahari mulai masuk ke kamar melalui jendela yang sengaja dibuka agar udara pagi menyegarkan isi ruangan. Rendy bergegas mengambil handuk yang menjuntai di kursi meja belajar, kemudian pergi mandi. Rhaka meraih gitar akustik yang tergeletak di atas tempat tidur. Dipetiknya senar satu persatu dan mulai melantunkan sebuah lagu untuk menghilangkan keheningan. Dalam pikirannya ia teringat kampung halaman yang hampir satu tahun tak dikunjunginya. Terbayang raut wajah kedua orang tuanya yang bersimbah keringat demi mencukupi semua kebutuhan keluarga, termasuk kebutuhan kuliahnya. Terbayang wajah kakaknya, terbayang wajah adik-adiknya yang tengah duduk dibangku sekolah. Dalam hati ia berjanji untuk tidak mengecewakan harapan kedua orang tua dan keluarganya. Lamunan Rhaka pun terbuyarkan oleh teguran Rendy yang dirasakan datang tiba-tiba. “Sudah mandi Ka ?”. Tanya Rendy pada Rhaka. Yang ditanya dengan spontan melepaskann gitar yang dari tadi di dekapnya. “Aku tadi tak sempat mandi, jadi sekalian saja aku numpang mandi disini”. Tak butuh waktu lama untuk menyiramkan air ke seluruh tubuh, dan membersihkan badan dari sisa keringat yang menempel di tubuhnya selepas beraktivitas seharian penuh kemarin siang hingga malam terlelap tidur. Setelah membayar ongkos dengan uang pemberian Rendy kepada sopir angkutan, ia langsung menuju sekretariat tempat pertemuan yang telah dijadwalkan secara mendadak. Sementara itu, Rendy tengah berjalan dari parkiran motor menuju tempat nongkrongnya anak-anak fakultas ekonomi, dan mulai mencari teman sekelas Rhaka untuk menitipkan surat yang diberikan sahabatnya itu. Tak sulit menemukan mereka. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi tengah asyik ngegosip di halaman kantin yang terletak di belakang kampus, sembari menyantap jajanan yang tersedia di hadapan mereka. Surat pun kini telah berpindah tangan dari Rendy pada kawan sekelas Rhaka. Seorang mahasiswi nyeletuk ketika Rendy hendak pergi meninggalkan mereka. “Eh, kapan dong aku terima surat dari kamu ?”. kawan – kawan yang lain meski tak di komando dan menyamakan suara terlebih dahulu begitu kompak menyahut. “huuuuuuuu….” Orang yang disoraki bukannya diam dan cemberut, tapi malah lebih ganjen dari sebelumnya. Dengan semangat ia membalas sorakan dari teman-temannya. “Yeeeee ngiriii, karena gue cantik ya ?”. Tak kalah semangat, kawan – kawannya menimpali dengan mulut yang dimonyongkan. “Yeeeee kepede’an loe…”. Memperhatikan tingkah mahasiswi-mahasiswi fakultas ekonomi tersebut Rendy hanya tersenyum, dan tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya ia cepat berlalu dari hadapan mereka. Di depan ruang tata usaha fakultas ekonomi, Rendy secara tidak sengaja berpapasan dengan Lembayung, wanita pemilik mata indah, dengan bulu mata lentik, rambut lurus dengan warna agak kecoklatan mirip bule dari negeri seberang, kulit putih bersih dan selalu tampil mempesona. Lembayung adalah mahasiswi fakultas hukum jurusan perdata, semester dua. Rendy mengenal Lembayung ketika penerimaan mahasiswa/i tahun ajaran baru beberapa bulan yang lalu. Orangnya periang dan murah senyum. Dengan siapapun ia cepat akrab, dan ia tak begitu memperdulikan kawannya berasal dari kalangan manapun. Namun bukan berarti Lembayung wanita gampangan atau murahan yang dapat dengan mudah diajak berkencan seenak udelnya saja. Buktinya pernah sekali waktu, ketika ia melintas di lorong menuju tangga lantai dua, seorang mahasiswa dengan secara tak sopan dan tiba-tiba memegangi pergelangan tangannya dan menggelayutkan tangan yang satunya lagi di pundak Lembayung, kemudian berkata-kata yang tak semestinya diucapkan seorang terpelajar, dengan sigap ia menepiskan tangan mahasiswa itu dan menamparnya. Hampir saja terjadi insiden yang tak diharapkan. Mahasiswa yang ditampar Lembayung dengan amarahnya terlihat akan membalas tamparan Lembayung. Rhaka yang kebetulan lewat dan sempat menyaksikan adegan tersebut dengan sigap segera melerai perselisihan dua orang tersebut. Namun sial, mahasiswa itu malah balik memaki dan menyerangnya. “Eh siapa loe ikut campur urusan gua !”. Bentak mahasiswa dengan logat Jakarta penuh amarah. “Jangan berlagak sok pahlawan loe, kalau loe gak mau gua sikat habis !”. Lanjut mahasiswa itu semakin emosi. Dari mulutnya tercium bau minuman keras. Rupanya ia telah menenggak minuman beralkohol tinggi bersama kawan – kawannya sebelum pergi ke kampus. Atau mungkin ia baru saja menenggak minuman tersebut, karena terlihat di tangga menuju lantai dua ada beberapa gelas plastik tergeletak. Rhaka yang dibentak-bentak akhirnya merasa tak enak juga, dan balas membentak tak kalah kerasnya dengan mengikuti logat mahasiswa itu. “Gue memang bukan siapa-siapanya dia. Tapi gua paling gak suka lihat laki-laki macam loe yang beraninya hanya dengan perempuan !”. Mendengar perkataan Rhaka, kontan mahasiswa itu semakin memuncak amarahnya. Tanpa basa-basi lagi Ia layangkan tangan terkepalnya kewajah Rhaka. Lengah sedikit saja tinju itu akan mendarat keras di wajahnya. Untung Rhaka cekatan menepis pukulan mahasiswa yang menggoda Lembayung dengan tangannya. Perkelahian anatara dua lelaki yang tak saling kenal sebelumnya pun terjadi. Rhaka hanya berusaha untuk menghindari tangan dan kaki yang membabi buta menyerangnya. Namun akhirnya Rhaka membalas serangan yang di arahkan padanya secara bertubi-tubi itu. Ia balas menyerang dan melayangkan pukulan ke arah perut mahasiswa tersebut ketika kesempatan datang menghampirinya. Mahasiswa itu mengaduh kesakitan dan memegang perutnya. Secara tiba-tiba dari arah belakang seorang mahasiswa lainnya melayangkan pukulan ke arah Rhaka. Beruntung hanya mengenai tangan sebelah kanan. Andai saja pukulan itu tepat mengenai bagian belakang kepala, mungkin Rhaka akan tersungkur. Ternyata Rendy, kawan – kawan se-fakultasnya, dan anak-anak Himpunan yang ketika terjadi perkelahian sudah berada dekat dengan tempat kejadian dengan cekatan menarik tubuh kawan mahasiswa itu saat melayangkan tinjunya dari arah belakang sehingga pukulannya hanya mengenai tangannya. Perkelahianpun dapat segera dihentikan. Sebentar kemudian satpam keamanan kampus datang dan membawa beberapa mahasiswa yang tengah mabuk tersebut menuju pos satpam. Di tengah perjalanan menuju pos satpam, Yori anggota KMPA dengan tiba-tiba melayangkan tinjunya. Pukulannya tepat mengenai bagian wajah mahasiswa yang digiring satpam, kemudian dengan gaya karatenya menendang perut mahasiswa tersebut. Mahasiswa itu pun terhuyung-huyung, lalu jatuh tersungkur di lantai. Yori mendengar dari kawannya bahwa Rhaka dikeroyok genk kampus yang sedang mabuk. Sontak Yori emosi dan berlari menuju tempat kejadian. Namun ternyata genk kampus itu telah digiring satpam kampus menuju pos satpam untuk diamankan. Demi melampiaskan amarahnya Yori pun mencegat dan memberi sedikit pelajaran kepada mereka yang berusaha mengeroyok Rhaka. Kejadian itu kiranya sebagai pembuktian bahwa Lembayung memang bukanlah wanita gampangan. Rendy menyapa Lembayung yang sepertinya tak terlihat bergegas masuk kelas untuk mengikuti perkuliahan. Ternyata memang betul Lembayung tak sedang terburu-buru, karena kuliah baru akan di mulai kembali pukul 13.00 wib nanti siang. Mata Lembayung seperti mencari-cari sesuatu, namun ia tak mengatakan apa yang sedang dicarinya. Rendy coba menebak apa maksud dari bahasa tubuh Lembayung kemudian berkata dengan nada pelan. “Oh ya, hari ini Rhaka tak bersamaku. Ia ada pertemuan di sekretariat kampus dua, mungkin sampai sore nanti baru selesai. Tadi pagi ia datang ketempat kost-ku dan menitipkan surat”. Rendy sengaja tak meneruskan bicaranya, tentang surat yang Rhaka titipkan padanya. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Lembayung. Lembayung menatap Rendy penuh tanya. Keningnya berkerut mendengar perkataan kawannya itu. “Surat apa, dan untuk siapa Ren ?”. Tanya Lembayung menyelidik ingin tahu tentang surat yang dimaksud. Rendy pura-pura tak mendengar dan tak menanggapi pertanyaan wanita dihadapannya. Dalam hati Lemabayung mengumpat. “Apakah dia sakit. Ah tidak mungkin. Kalau dia sedang sakit ia tak akan pergi ke sekretariat untuk menghadiri pertemuan. Atau…. jangan-jangan surat itu untuk….?.” Lembayung segera menepis kemungkinan yang sempat terpikir olehnya. Ia pikir tak mungkin surat itu untuknya. Lagi pula kalau memang dia benar-benar suka padanya, pasti Rhaka akan mengatakannya secara terus terang tanpa melalui surat yang mesti dititipkan pada kawannya. Namun ketika pikiran yang lain muncul di benaknya, secara tiba-tiba ia merasa ada kekhawatiran dalam dirinya mengenai keadaan Rhaka. Ia menganggap Rendy menyembunyikan sesuatu darinya tentang Rhaka. Tapi lagi-lagi ia tepiskan dengan segera. “Rhaka kan bukan siapa-siapa aku, mengapa aku harus mengkhawatirkannya ?”. Katanya dalam hati. Lembayung mencoba untuk terlihat tetap tenang dihadapan Rendy. Ia tak ingin kekhawatirannya terhadap Rhaka diketahui Rendy. Ia pun menyambung pembicaraannya kembali, berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Rendy pun mengerti maksud Lembayung mengalihkan pembicaraan pada persoalan lainnya. Ketika Lembayung bertanya ia menjawab sekenanya atas pertanyaan tersebut sambil tersenyum. Komunikasi antara Lembayung dan Rhaka mulai terjalin keesokan harinya setelah peristiwa perkelahian terjadi. Pagi itu ia tengah duduk-duduk ditangga menuju lantai dua bersama kawan – kawan sekelasnya sembari mengobrol menunggu waktu perkuliahan tiba. Beberapa kawan sekelas Rhaka yang tak mengetahui peristiwa perkelahiannya dengan kelompok genk kampus mencoba menanyakan kejadian itu padanya. Tanpa pamrih Rhaka pun menceritakan bagaimana dirinya sampai terlibat adu jotos dengan orang tersebut. Kawan – kawan sekelasnya mendengarkan dengan antusias. Mereka hanya manggut-manggut, namun ada juga yang berusaha mengajaknya untuk membuat perhitungan dengan kelompok genk kampus tersebut. Rhaka tak terpengaruh oleh provokasi dari kawannya dan berupaya menghindar untuk tak menangapi ajakan itu. Ia hanya berusaha mencoba tenang meskipun dalam hatinya ada juga rasa khawatir. Jangan-jangan mereka masih menyimpan dendam atas kejadian kemarin. Kini ia harus lebih waspada dan lebih siap menghadapi hal-hal yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. Hanya beberapa menit saja tersisa waktu untuk memulai perkuliahan, namun dosen yang akan memberikan materi belum juga nampak batang hidungnya. Rhaka mengalihkan pandangan mata kesamping kanan secara spontan, ketika mendengar langkah kaki seseorang mendekat ke arah mereka. Ia terkejut melihat siapa yang berjalan menuju kearahnya. Ia adalah wanita yang kemarin telah menyebabkan dirinya beradu jotos dengan cowok iseng di kampusnya. Wanita itu pun tersenyum, kemudian mendekat ke arahnya. Entah mengapa Rhaka merasa gugup mendapatkan senyuman dari wanita itu. Ada getaran tak biasa menjalar dalam tubuhnya. Namun ia berusaha terlihat biasa-biasa saja, karena ia tak ingin sikapnya menjadi bahan ledekan kawan – kawan sekelasnya. “Boleh saya bicara sebentar dengan teman anda ?”. Tanya wanita itu dengan ramah. Jemarinya menuju ke arah dimana Rhaka berada. Dengan antusias kawan – kawan Rhaka pun menjawab. “Oh boleh silahkan, lama juga nggak apa-apa. Santai aja, kompeni masih jauh kok”, yang di sambut dengan tawa kawan – kawan lainnya. Rhaka tersenyum mendengar kawan – kawannya berkelakar, begitupun dengan wanita itu. Mereka pergi agak menjauh dari kawan – kawan sekelas Rhaka. Dalam hati Rhaka bertanya-tanya, ada apa kiranya wanita itu menemuinya. “Ah mungkin hanya sekedar ingin menyampaikan terima kasih saja, itupun jika ia memang merasa terselamatkan”. Umpatnya dalam hati. “Atau mungkin ia akan marah karena kejadian kemarin. Jangan-jangan cowok yang kemarin itu pacarnya, dan mereka sedang bertengkar ?”. Tiba-tiba saja pikiran itu menghantuinya, dan ia jadi merasa tak enak hati karena merasa telah mencampuri hubungan mereka, bahkan bukan tak mungkin telah mengacaukannya. “Mampus dech !”. Makinya pada diri sendiri. Sesampainya di depan Komawa (Koperasi Mahasiswa), wanita itu menghentikan langkahnya. “Kita bicara di sana saja ya?!”. Pintanya kepada Rhaka sambil menunjuk bangku panjang yang terletak tepat di depan sekretariat Resimen Mahasiswa. Hati Rhaka menjadi gusar mendapati dirinya diajak bicara di tempat itu. Untuk menolaknya ia merasa tak enak, karena ia tak ingin dianggap laki-laki pengecut. Rhaka berusaha sekuat tenaga untuk terlihat tetap tenang. Apapun yang akan terjadi akan ia hadapi dengan lapang dada. Andai saja lelaki yang berkelahi dengannya itu adalah salah satu anggota Resimen Mahasiswa, akan tetap ia hadapi. Memang lelaki yang sempat berkelahi dengan Rhaka kemarin berpotongan rambut cepak, dengan perawakan yang tegap seperti para anggota menwa pada umumnya. Tapi lelaki itu tak pernah ia lihat sebelumnya mengenakan seragam kebesaran menwa. “Maaf jika aku mengganggu waktumu. Aku ingin mengucapkan terima kasih telah menolongku dari lelaki yang membuatku kesal kemarin”. Mendengar penuturan itu hati Rhaka menjadi lega, seakan-akan ia terlepas dari kejaran anjing penjaga rumah mewah yang setiap pagi ia lewati ketika pergi ke kampus. “Aku tak tahu harus membalasnya dengan apa dan bagaimana”. Lanjutnya meneruskan pembicaraan. Rhaka hanya tersenyum mendengarnya. Sesaat kemudian wanita itu menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan. “Oh ya, aku Lembayung , fakultas hukum semester satu”. Ungkapnya mengenalkan diri. “Aku Rhaka, fakultas ekonomi semester tiga. Lahir di kampung beberapa tahun lalu”. Celetuk Rhaka, berusaha tak terlalu serius agar suasana kaku mencair. Lembayung tersenyum mendengar penuturan Rhaka. Pipinya merona merah, namun senyumnya lepas tanpa beban. Keberanian Rhaka pun timbul untuk meneruskan percakapan setelah ia tahu maksud Lembayung mengajaknya bicara disana. Jujur Rhaka berharap Lembayung mengatakan jika lelaki tersebut bukan pacarnya. Dan ia lebih berharap Lembayung mengungkapkan bahwa dirinya masih sendiri alias belum punya pacar. Tapi pernyataan itu tak mengalun syahdu darinya. Tak mengapalah, yang jelas cowok itu memang bukan pacar Lembayung. Lagi pula begitu egoisnya Rhaka jika belum apa-apa ia sudah mengharapkan sesuatu dari wanita yang di tolongnya itu. Mungkin maksud ia mengajaknya bicara hanya sekedar untuk menyampikan rasa terima kasihnya karena merasa sudah tertolong, dan tidak ada maksud apapun di balik semua itu. Toh waktu ia menolong pun tak terlintas untuk mengharapkan sesuatu darinya. Matahari mulai tenggelam di upuk sana. Cahayanya merambat di sela-sela pepohonan yang bertengger ditepi jalan. Andai berada di tepi pantai mungkin lebih menyenangkan menikmati suasana senja kala itu. Menyaksikan sunset diiringi debur ombak bersahutan dengan hembusan angin menyapu daun-daun kering berserakan di sepanjang pesisir. Pasir yang terhampar menanti sentuhan ombak yang bergerai. Rhaka melangkah menelusuri trotoar setelah menyeberang jalan di jembatan yang tak begitu jauh dari kampus tempatnya menimba ilmu. Tepat diseberang jalan gerbang kampus Rhaka mempercepat langkahnya. Ia berusaha menghindar untuk bertemu dengan kawan – kawan yang mungkin saja masih berkeliaran di sekitar kampus, seperti yang seringkali dilakukan bersama kawan – kawan organisasi internal kampusnya ketika sore hari tiba. Adzan magrib berkumandang saat ia menginjakkan kakinya di teras depan rumah kost-an Rendy sahabatnya. Pintu depan sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Ketika Rhaka memasuki rumah tersebut, Rendy baru saja selesai mandi. Tangannya mengusap-usap rambut dengan handuk sambil berjalan menuju kamar. Rendy menegur Rhaka yang berdiri di depan pintu kamarnya. Tanpa dipersilahkan terlebih dahulu Rhaka mengikuti Rendy masuk kamar. Diambilnya teko berisi air putih dan dituangkan kedalam gelas kosong. Sekejap saja segelas air itu lenyap dari tempatnya semula. “Wajahmu berantakan sekali Ka”. Ucap Rendy sambil mengenakan pakaian, seolah memecah kebisuan. “Sana pergi mandi dulu, supaya wajah kusutmu tak merusak pemandangan istanaku !”. Lanjut Rendy seraya melemparkan handuk ke arah sahabatnya. Rhaka tak menunggu di minta dua kali untuk pergi mandi. Ia pun bergegas untuk menyegarkan diri dengan mengguyurkan air ke sekujur tubuhnya. Lumayan manjur, setelah membersihkan diri badannya berasa segar, dan rasa lelahpun berkurang. Selepas adzan isya Rendy mengajak kawannya untuk pergi makan malam. Hari itu Rendy tak sedang bersemangat untuk memasak, jadi ia putuskan untuk makan di luar. Kebetulan tadi siang ia baru saja mendapat kiriman uang dari orang tua di kampung halamannya. Warung-warung tenda para penjual nasi berjejer di sepanjang jalan emperan toko yang sejak tadi sore sudah tutup. Rendy masuk ke salah satu tenda yang menyajikan makanan khas kota Jogya. Sudah cukup lama ia tak menyantap sayur nangka berhiaskan butiran telur burung puyuh, dengan rasa khasnya, manis sedidkit pedas. Ciri khas lainnya dari warung tenda ini terletak pada butiran telur puyuhnya, yang di tempat lain biasa disajikan dengan telur ayam kampung. Rhaka tak meminta menu makanan lain, jadi dua porsi sayur nangka pun segera dipesannya. Kedua sahabat ini terlihat begitu lahap menyantap suap demi suap makanan ke dalam mulutnya. “Selesai makan aku akan ke mini market dulu. Ada beberapa barang yang harus aku beli, karena besok pagi mungkin tak akan sempat ke pasar. Ada kuliah pagi”. Sahut Rendy sambil menyodokkan sendoknya ke dalam mangkuk sayur dan menyantapnya penuh semangat. Rhaka hanya menganguk saja mendengar sahabatnya memberikan penuturan. Beberapa kebutuhan rutin telah menjadi kewajiban untuk ia beli. Kopi, gula putih, teh celup, mie instan dan sebungkus susu full cream untuk kesehatan. Perlengkapan mandi tak lupa Rendy masukkan dalam daftar belanjaannya. Sabun mandi batangan, shampoo, pasta gigi, sikat gigi dan cairan penyegar napaspun nongkrong di keranjang yang ia ambil di dekat kasir. Alat pencukur, deodorant, pewangi ruangan dan parfum dengan wangi kesukaannya tak ingin ia lewatkan juga. Semua kebutuhan telah bersarang di keranjang belanjaan, ia menyelesaikan pembayarann di tempat kasir setelah sebelumnya menambahkan dua bungkus rokok filter untuk dia dan sahabatnya, lalu bergegas pulang. Di rumah kost suasana mulai terasa sepi. Sebagian penghuni mungkin sudah terlelap dengan mimpinya masing-masing. Rendy dan Rhaka menaruh dua kantong plastik dan satu dus mie instan yang tadi ia beli di mini market sesampainya di dalam kamar. Tak lama kemudian keduanya pun terlibat perbincangan. “Bagaimana hasil keputusan dari pertemuan, apakah ada titik terang ?”. Tanya Rendy sambil mengaduk-aduk air kopi yang sengaja ia buat untuk mereka berdua. Rhaka membeberkan beberapa point hasil pertemuannya tanpa ragu. Dan Rendy hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasan dari sahabatnya. “Tadi pagi aku bertemu Lembayung, dan berbincang sebentar dengannya selepas menitipkan surat ke kawan sekelasmu. Dia sempat menanyakan keadaanmu, dan sepertinya dia tak tahu kegiatanmu hari ini Ka. Mungkin ia khawatir, kenapa arjunanya tak nampak berkeliaran di kampus”. Ungkap Rendy sedikit berbohong. Mungkin Lembayung tak menanyakannya jika saja ia tak mengatakan perihal surat yang Rhaka titipkan padanya. Ia hanya berusaha memberikan dorongan dan dukungan pada Rhaka dengan caranya sendiri, agar Rhaka mendapatkan tempat istimewa di hati Lembayung, wanita yang telah menjadi bagian dari insprirasi sahabatnya dalam berkarya seni, sejak mereka berdua saling mengenal. Sepertinya Rhaka mengerti apa yang dikatakan sahabtanya. Ia tahu upaya dia yang begitu antusias menyemangati dirinya untuk menjadikan Lembayung sebagai kekasihnya. “Ah kau ini asal bunyi saja kalau bicara. Lagi pula ada kepentingan apa dia menanyakan aku”. Rhaka menyahut sekenanya. “Sudahlah Ren, simpan saja akal bulusmu untuk obrolan esok hari. Aku tak begitu yakin kalau aku bisa mendapatkannya. Lagi pula, mana mungkin ia mau denganku. Kau kan tahu bagaimana Lembayung. Mungkin dia hanya ingin berkawan saja denganku seperti juga ia berteman denganmu dan teman-teman yang lainnya”. Bantah Rhaka sembari menyandarkan diri ke tembok kamar. Rendy menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Ia tatap wajahnya dengan tatapan mata keheranan. Rhaka terdiam sejenak tanpa berkata-kata. Di tariknya nafas dalam-dalam. Ia pandangi langit-langit kamar, menerawang jauh entah kemana. Di raihnya gelas bersisi kopi yang masih hangat dan meneguknya perlahan. Ia ambil sebatang rokok setelah membuka bungkusnya. Di hisapnya dalam-dalam, dan sekejap saja asap mengepul bagai awan tertiup angin. Sebentar ia palingkan wajahnya ke tumpukan buku di atas meja belajar, lalu kembali ia pandangi langit-langit kamar, seolah ada sesuatu di sana. “Sudah lama aku tak pulang ke kampung halaman. Aku ingin memastikan bahwa keadaan orangtuaku baik-baik saja”. Rhaka berucap tiba-tiba. Suasana pun hening sejenak. Sebentar kemudian Rhaka melanjutkan bicaranya. “Tadi siang aku bertemu teman sekampung yang kebetulan baru pulang dari sana. Ia bilang orang tuaku sedang sakit, tapi tak sampai dirawat di rumah sakit. Aku hanya heran saja mengapa mereka tak memberi aku kabar. Padahal nomor telepon pemilik kost sudah aku berikan, jika saja ada hal penting yang ingin mereka sampaikan. Ya, aku mengerti mengapa mereka tak memberiku kabar. Mereka tak ingin mengganggu konsentrasi belajarku”. Rendy baru mengerti apa yang dipikirkan sahabatnya. Ia tak ingin menambah beban pikiran Rhaka dengan melanjutkan pembicaraan tentang Lembayung. Betul kata sahabatnya, lebih baik ia simpan pembicaraan itu lain waktu saja. Toh masih ada hari esok dan selanjutnya yang lebih tepat waktu untuk membicarakan tentang asmara dua insan itu. Rendy pun mengakhiri obrolan mereka dan berusaha sedikit menenangkan sahabatnya. “Ya sudah, besok sepulang kuliah kita pergi kesana Ka. Kita berdo’a saja mudah-mudahan tak terjadi sesuatu pada orang tuamu”. Rhaka tak mampu menyembunyikan rasa gembira mendengar ajakan sahabatnya. Ia tak mengira Rendy akan bicara seperti itu. Sementara itu Jam weker di atas meja belajar berdetak konstan. Terdengar jelas memenuhi ruang kamar yang terasa hening. Rasa kantuk mulai menggelayut di kelopak mata. Malam semakin larut, dan merekapun terlelap dalam tidurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya

Pages - Menu